TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Invasi darat skala terbatas telah dilakukan militer Israel ke wilayah Jalur Gaza (Gaza Strip) sejak pekan lalu.
Saat ini, pasukan khusus Brigade Golani yang dikirim telah memotong wilayah enklave Palestina itu menjadi dua bagian; Gaza utara dan Gaza selatan.
Kota Gaza (Gaza City) telah terkepung, karena pasukan yang menerobos dari perbatasan darat telah bertemu pasukan yang masuk Gaza lewat pesisir Laut Tengah.
Juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Laksamana Muda Daniel Hagari menyatakan, koridor utara-selatan tetap dibuka guna memberi jalan penduduk tersisa di Gaza City pindah ke selatan.
Beberapa waktu setelah 7 Oktober 2023, militer Israel mengultimatum penduduk Gaza agar berpindah ke wilayah selatan Gaza dalam waktu 24 jam.
Baca juga: Mengapa Israel Tunda Invasi Darat ke Jalur Gaza?
Baca juga: Sejumlah Kesalahan Taktis Operasi Kelompok Hamas
Baca juga: Memori Tragedi Sabra Shatila dan Genosida di Jalur Gaza
Peringatan itu berlalu tanpa gerakan militer sama sekali setelah 24 jam. Invasi darat tak jadi digelar menyusul kedatangan Presiden AS Joe Biden ke Israel.
Sesudah Joe Biden meninggalkan Israel, operasi darat tak juga dilakukan. Israel menahan diri karena tidak kunjung mendapat lampu hijau dari Biden.
Keberadaan ratusan sandera Israel dan warga berbagai negara di Gaza, menjadi satu di antara faktor yang mengerem invasi darat itu.
Faktor lain, AS belum selesai memobilisasi kekuatan militernya ke Laut Tengah meski sudah mengerahkan dua armada kapal induknya.
Pergerakan kekuatan tempur AS ke Laut Tengah ini guna mencegah perluasan perang, mengingat ada potensi konflik di Lebanon Selatan dan perbatasan Israel-Suriah.
Meski belum mendapat lampu hijau serangan total pasukan darat ke Gaza, para pemimpin politik dan militer Israel tak mengendurkan kemarahannya.
Mereka menolak gencatan senjata, yang juga didukung AS. Israel juga menolak suplai bahan bakar, memutus listrik, air, dan koneksi internet di Gaza.
Mereka hanya memberikan kesempatan aliran bantuan pangan, medis, air dari arah perbatasan Mesir. Evakuasi warga asing dari Gaza juga bisa diizinkan via pintu perbatasan Rafah.
Melihat perkembangan per Minggu, 5 November 2023, Israel agaknya menggunakan setengah dari skenario awal ofensif darat besar-besaran.
Mereka hanya ingin membersihkan semua wilayah utara Gaza dari hunian penduduk Palestina, lalu mengontrolnya secara penuh.
Sebuah perimeter sangat lebar diciptakan, membuat jarak perbatasan antara Gaza dan wilayah yang diduduki Israel semakin jauh.
Jika setengah wilayah Gaza nantinya dikuasai Israel, maka jarak tembak roket yang dimiliki kelompok Hamas semakin sempit.
Ini berarti sementara waktu menciptakan kondisi relatif aman bagi kota-kota terdekat Israel seperti Askhelon dan Sderot.
Dua kota ini, selain Tel Aviv, menjadi sasaran empuk roket-roket Hamas yang diluncurkan dari wilayah tengah maupun utara Gaza.
Kehadiran perimeter lebar ini juga menjadikan makin sulit bagi petempur Hamas melakukan serangan lintas perbatasan seperti terjadi 7 Oktober 2023.
Konsekuensinya, kemungkinan besar Kota Gaza akan dikosongkan, sebelum mungkin akan terseleksi penghuninya, dan pada waktunya direstorasi jadi permukiman Palestina.
Pasukan pendudukan Israel akan menyeleksi dan memisahkan penduduk Palestina dari kelompok Hamas.
Selain itu Israel akan memastikan jaringan terowongan bawah tanah Hamas di bawah Kota Gaza dihancurkan.
Bagi Hamas, dipotongnya wilayah Gaza memberi konsekuensi kekuatan dan pengaruh mereka akan berkurang dan mungkin akan terkonsentrasi di wilayah selatan Gaza.
Apakah strategi Israel memotong Gaza itu akan efektif? Melihat apa yang terjadi di Tepi Barat, agaknya akan relatif berhasil.
Militer Israel akan mengontrol ketat pergerakan dan aktivitas penduduk Palestina di utara Gaza jika kembali jadi hunian lagi.
Seperti di berbagai tempat di Tepi Barat, semua jalur dan pergerakan penduduk Palestina dipersempit, diawasi, dan tidak bisa bebas bepergian.
Ada sekurangnya 500 pintu berlapis yang mesti dilakui penduduk Palestina saat bepergian, dan semuanya terkontrol lewat pengawasan canggih pasukan pendudukan Israel.
Bagi Hamas, elemen politik militer terbesar di Gaza, konsolidasi kekuatan mesti dilakukan dan harus ada penyesuaian strategi perlawanan.
Kemampuan dan daya jangkau roket mereka di masa depan mungkin harus ditingkatkan, mengingat semakin sulit menggelar serangan lintas perbatasan.
Menumpuknya penduduk Palestina di wilayah selatan Gaza juga menimbulkan dampak semakin padatnya hunian dan jumlah warga di sana.
Gaza dihuni tak kurang 2,2 juta orang, sekitar 1,1 juta di antaranya semula tinggal di Gaza City yang kini sebagian hancur lebur.
Kepadatan penduduk ini menjadikan perlawanan kian tak mudah, karena ada faktor risiko korban sipil jika Israel membalas secara membabibuta.
Dalam konteks peperangan setelah 7 Oktober 2023, dunia menyaksikan bencana kemunusiaan nyata terjadi di Gaza.
Tak kurang 8.000 nyawa penduduk Palestina melayang, mayoritas anak-anak, wanita, dan orang lanjut usia.
Ratusan bangunan bertingkat yang jadi kamp-kamp penduduk Palestina, masjid, gereja, rumah sakit, dibombardir Israel hingga rata tanah.
Para pemimpin Israel menutup mata, dan menganggap semuanya tragedi peperangan belaka, dan selalu menegaskan Israel punya hak membela diri.
Semua hukum peperangan atau hukum konflik bersenjata internasional dilanggar. Resolusi PBB diabaikan. Kecaman dan seruan para pemimpin dunia dicuekin.
Protes jutaan warga di berbagai negara dianggap angin lalu. Pengeboman dan pembunuhan massal terus dilakukan pasukan Israel.
Cengkeraman atas wilayah utara Gaza sudah pasti semakin diperkuat menyusul keberhasilan memotong dan pengepungan Gaza City.
Apakah Hamas akan total melawan lewat perang kota di utara Gaza? Dilihat dari strategi Israel ini, agaknya Hamas akan sangat berhitung.
Tanpa perhitungan matang, perlawanan terbuka lewat perang kota akan jadi strategi bunuh diri mengingat potensi putusnya jalur suplai mereka dari selatan.
Hamas akan kembali ke taktik lama, perang gerilya dari wilayah selatan.
Ini memungkinkan aset-aset tempur Hamas tetap terjaga, sementara perlawanan tetap bisa dilakukan.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)