MPR sendiri sebenarnya juga sudah mengagendakan amandemen kembali UUD 1945 untuk memasukkan semacam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) semasa era Orde Baru.
Namun karena amandemen kembali itu menjadi bola liar, dengan menyasar pasal-pasal lain, maka sementara agenda amandemen UUD 1945 dipending sampai Pemilu 2024 nanti berakhir. Artinya, yang akan melakukan amandemen adalah MPR (DPR dan DPD) hasil Pemilu 2024.
Simalakama
Kini, kita semacam menghadapi buah simalakama terkait usulan agar UUD 1945 dikembalikan ke naskah aslinya seperti sebelum diamandemen tahun 1999-2002. Seperti buah simalakama, jika dimakan ibu mati, jika tidak dimakan bapak mati.
Jika UUD 1945 dikembalikan ke naskah asilnya maka Indonesia akan “setback” atau mengalami kemunduran hingga 25 tahun; sementara jika tidak ada perbaikan sistem ketatanegaraan yang merupakan hasil amandemen UUD 1945 “kerusakan” dalam berbangsa dan bernegara akan bertambah parah.
Diakui atau tidak, amandemen UUD 1945 juga membawa perbaikan, di antaranya makin demokratisnya kehidupan berbangsa dan bernegara, dan kesetaraan dalam hukum dan pemerintahan atau “equality before the law and gouverment’ betul-betul nyata.
Hemat saya, amandemen UUD 1945 yang sudah terlanjur dilakukan MPR tak perlu dibatalkan atau dikembalikan ke UUD 1945 asli seperti sebelum diamandemen. Sebab jika itu terjadi maka bangsa ini akan “setback” hingga 25 tahun ke belakang.
Jika yang dikhawatirkan adalah maraknya korupsi akibat “high cost politics” dalam pemilihan langsung, maka pertanyaannya, adakah yang berani menjamin bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan pemilihan presiden/wakil presiden oleh MPR tidak akan terjadi “money politics”?
Alhasil, ibarat UUD 1945 hasil amandemen itu lumbung padi, dan ekses-ekses negatif yang ditimbulkannya seperti maraknya korupsi itu tikus, maka jika kita hendak memberantas tikus, cukuplah menangkap tikus-tikusnya, tak perlu membakar lumbung.