News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Simalakama Amandemen UUD 1945

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr Sopyan Iskandar SH MH

Oleh: Dr Sopyan Iskandar SH MH

TRIBUNNEWS.COM - Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno mewakili Dewan Presidium Konstitusi, Jumat (10/11/2023), mendesak MPR menggelar Sidang Istimewa dengan agenda tunggal mengembalikan penerapan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 seperti sebelum diamandemen tahun 1999-2002.

UUD 1945 diminta dikembalikan ke naskah aslinya, sehingga UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (37 Pasal), dan Penjelasan.

Pertanyaannya, ada kegentingan semacam apakah yang “memaksa” Dewan Presidium Konstitisi meminta MPR mengambil langkah seperti yang dilakukan Presiden Pertama RI Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959?

Ada sejumlah alasan. Pertama, amandemen UUD 1945 mengabaikan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi negara, bahkan menghilangkan Pancasila sebagai identitas konstitusi serta tidak konsisten dalam konsepsi, teori, dan yuridis.

Kedua, amandemen UUD 1945 semakin memperkuat potensi perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta mengikis jati diri bangsa Indonesia dan semakin menjauhkan terwujudnya cita-cita dan tujuan nasional lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Baca juga: DPD RI Tetap Dorong Amandemen UUD 1945

Ketiga, amandemen UUD 1945 telah mengaburkan pelaksanaan dan pengamalan sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, sehingga menghilangkan kedaulatan rakyat dengan memindahkan kepada kedaulatan kelompok.

Setelah dikembalikan ke naskah aslinya, jika memang perlu diamendeman, maka harus menggunakan teknik adendum (penambahan) untuk menyempurnakan dan memperkuat kedaulatan serta kemakmuran rakyat sebagaimana mengacu pada semangat dan tuntutan Reformasi 1998, antara lain pembatasan masa jabatan presiden, penghapusan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) serta penegakan hukum.

Pak Try juga mendesak MPR untuk melakukan pengisian utusan daerah dan utusan golongan sebagai bagian dari anggota MPR, yang berasal dari elemen-elemen bangsa sebagai perwujudan penjelmaan rakyat yang utuh, serta membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sementara dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Sebelum ini, desakan mengembalikan UUD 1945 ke aslinya seperti sebelum diamandemen juga disampaikan pihak-pihak lain. Motifnya adalah ketidakpuasan terhadap pelaksanaan reformasi setelah 25 tahun berjalan.

Misalnya, terjadinya konflik antar-lembaga negara, seperti antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang “berebut kewenangan”. Juga antara Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), serta antara MA dan Komisi Yudisial (KY) dan antara MK dan KY.

Ketiga lembaga negara tersebut, yakni DPD, MK dan KY dibentuk setelah UUD 1945 diamendemen sebanyak empat kali sejak tahun 1999 hingga 2002.

Pun, maraknya korupsi akibat “high cost politics” (politik berbiaya tinggi) dalam pemilihan kepala daerah langsung dan pemilihan anggota legislatif. Di eksekutif, sejauh ini sudah lebih dari 400 kepala daerah terlibat korupsi.

Di legislatif, sejauh ini sudah lebih dari 100 anggota DPR RI terlibat korupsi, dan sekitar 2.700 anggota DPRD terlibat korupsi. Salah satu pemicunya adalah “high cost politics”, baik untuk biaya politik itu sendiri, seperti pemasangan alat peraga dan kampanye, dan “money politics” (politik uang) seperti “mahar” ke parpol dan “serangan fajar”.

MPR sendiri sebenarnya juga sudah mengagendakan amandemen kembali UUD 1945 untuk memasukkan semacam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) semasa era Orde Baru.

Namun karena amandemen kembali itu menjadi bola liar, dengan menyasar pasal-pasal lain, maka sementara agenda amandemen UUD 1945 dipending sampai Pemilu 2024 nanti berakhir. Artinya, yang akan melakukan amandemen adalah MPR (DPR dan DPD) hasil Pemilu 2024.

Simalakama

Kini, kita semacam menghadapi buah simalakama terkait usulan agar UUD 1945 dikembalikan ke naskah aslinya seperti sebelum diamandemen tahun 1999-2002. Seperti buah simalakama, jika dimakan ibu mati, jika tidak dimakan bapak mati.

Jika UUD 1945 dikembalikan ke naskah asilnya maka Indonesia akan “setback” atau mengalami kemunduran hingga 25 tahun; sementara jika tidak ada perbaikan sistem ketatanegaraan yang merupakan hasil amandemen UUD 1945 “kerusakan” dalam berbangsa dan bernegara akan bertambah parah.

Diakui atau tidak, amandemen UUD 1945 juga membawa perbaikan, di antaranya makin demokratisnya kehidupan berbangsa dan bernegara, dan kesetaraan dalam hukum dan pemerintahan atau “equality before the law and gouverment’ betul-betul nyata.

Hemat saya, amandemen UUD 1945 yang sudah terlanjur dilakukan MPR tak perlu dibatalkan atau dikembalikan ke UUD 1945 asli seperti sebelum diamandemen. Sebab jika itu terjadi maka bangsa ini akan “setback” hingga 25 tahun ke belakang.

Jika yang dikhawatirkan adalah maraknya korupsi akibat “high cost politics” dalam pemilihan langsung, maka pertanyaannya, adakah yang berani menjamin bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan pemilihan presiden/wakil presiden oleh MPR tidak akan terjadi “money politics”?

Alhasil, ibarat UUD 1945 hasil amandemen itu lumbung padi, dan ekses-ekses negatif yang ditimbulkannya seperti maraknya korupsi itu tikus, maka jika kita hendak memberantas tikus, cukuplah menangkap tikus-tikusnya, tak perlu membakar lumbung.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini