Oleh: DR. Rudolf Tjandra
CEO/Presiden Direktur PT Sasa Inti
TRIBUNNEWS.COM - Kampanye marketing yang sangat berhasil baru-baru ini berhasil mengunggulkan salah satu kandidat presiden, Prabowo Subianto. Beliau memimpin secara besar-besaran pada pemilu 2024 merupakan kisah sukses yang luar biasa.
Pada kampanye presiden tahun ini, tim sukses Prabowo menggambarkan mantan jenderal tersebut sebagai sosok kakek yang menawan, menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menciptakan persona digital yang dipenuhi dengan atribut berjiwa muda dan kekanak-kanakan yang akrab dengan sapaan ‘gemoy’ yang artinya adalah gemas asoy.
Strategi yang sengaja dilakukan untuk melunakkan citra Prabowo di mata publik ini secara efektif mengalihkan perhatian dari kepribadiannya yang tangguh di masa lalu. Khususnya, terlepas dari tindakan kontroversial apa pun yang mungkin dilakukan oleh seseorang di masa mudanya, figure seorang kakek yang diangkat berfungsi untuk memanusiakan karakter Prabowo di mata masyarakat Indonesia.
Selain itu, kampanyenya dengan cerdik memanfaatkan budaya hormat dan sopan santun yang sudah tertanam dalam masyarakat Indonesia. Tim Prabowo dengan cerdik mengubah setiap kritik dan serangan terhadapnya sebagai penghinaan terhadap nilai kesopanan yang dijunjung tinggi ini.
Akibatnya, alih-alih meneliti tindakan-tindakan Prabowo di masa lalu, masyarakat malah berempati terhadapnya dan menganggap kritik-kritik tersebut tidak sopan dan tidak pantas. Manuver strategis ini tidak hanya melindungi Prabowo dari persepsi negatif, namun juga menumbuhkan rasa simpati dan solidaritas masyarakat.
Kampanye Prabowo pada tahun 2024 menggarisbawahi pentingnya mengeksplorasi dimensi emik atau budaya yang melekat dalam upaya pemasaran. Dengan menyelaraskan strategi pemasaran dengan nilai-nilai dan sentimen budaya yang sudah mendarah daging, entitas bisnis dan politik dapat menjalin hubungan otentik dengan audiens target mereka, sehingga meningkatkan efektivitas dan resonansi pesan mereka.
Dalam arena bisnis global yang dinamis, kesuksesan tidak hanya sekedar menyediakan produk atau layanan berkualitas tinggi, namun kesuksesan bergantung pada pembentukan hubungan yang erat dengan konsumen. Prinsip ini paling jelas terlihat di lanscape bisnis Indonesia yang dinamis, di mana seluk-beluk budaya sangat mempengaruhi perilaku dan preferensi konsumen.
Memahami Mosaik Budaya Indonesia: Suatu Keharusan Bisnis Yang Penting
Dalam ekonomi di Asia Tenggara, Indonesia menawarkan banyak sekali peluang bagi dunia usaha yang ingin melakukan ekspansi. Namun, untuk menembus pasar yang beragam ini memerlukan pemahaman mendalam tentang kekayaan budaya negara ini. Dengan 17.000 pulau dan beragam kelompok etnis, Indonesia mewujudkan mosaik tradisi, kepercayaan, dan nilai-nilai.
Inti dari budaya Indonesia adalah prinsip gotong royong, yang menekankan kerjasama komunal dan saling mendukung. Etos komunal ini meresap ke seluruh aspek masyarakat, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku konsumen. Perusahaan yang berupaya mencapai kesuksesan di Indonesia harus memahami pentingnya membina hubungan dan menumbuhkan kepercayaan dengan dan didalam komunitas lokal.
Dinamika Kekuasaan: Menavigasi Hierarki
Penghormatan terhadap otoritas dan struktur hierarki sudah tertanam kuat dalam masyarakat Indonesia. Dalam lingkungan bisnis, keputusan sering kali berasal dari tokoh senior atau kepala bagian, dan bawahan diharapkan untuk mematuhi arahan mereka.
Bagi perusahaan yang beroperasi di Indonesia, mengakui dan menghormati hierarki ini sangat penting untuk membangun kredibilitas dan hubungan baik. Misalnya, perusahaan barang konsumen sering kali berkolaborasi dengan tokoh masyarakat berpengaruh atau tetua setempat untuk mendukung produk mereka. Dengan menyelaraskan diri dengan tokoh-tokoh terkemuka, dunia usaha dapat memanfaatkan dinamika kekuatan yang ada untuk meningkatkan citra brand dan kredibilitas mereka di mata konsumen.
Individualisme Vs. Kolektivisme: Membina Ikatan Komunitas
Meskipun pengaruh individualisme semakin meningkat, khususnya di pusat-pusat perkotaan seperti Jakarta, Indonesia pada dasarnya tetap merupakan masyarakat kolektivis, dengan penekanan kuat pada hubungan kekeluargaan dan komunal. Pola pikir kolektivis ini secara signifikan membentuk keputusan konsumen, dimana masyarakat sering kali memprioritaskan pembelian yang bermanfaat bagi jaringan sosial mereka yang lebih luas.
Di sektor barang konsumsi, merek memanfaatkan pola pikir komunal ini dengan menekankan dampak sosial dari produk mereka.
Misalnya, perusahaan dapat meluncurkan inisiatif yang menyumbangkan sebagian penjualannya untuk proyek pengembangan masyarakat, atau mereka dapat berkolaborasi dengan pengrajin lokal untuk menciptakan produk yang relevan dengan budaya. Dengan menyelaraskan penawaran mereka dengan nilai-nilai komunal, dunia usaha dapat menjalin hubungan yang lebih kuat dengan konsumen Indonesia.
Dinamika Maskulinitas Dan Gender: Beradaptasi Terhadap Perubahan Norma
Peran gender terus mempunyai pengaruh di Indonesia, khususnya di wilayah pedesaan yang konservatif. Namun, sikap masyarakat terhadap gender terus berkembang, seiring dengan semakin meningkatnya pengakuan terhadap kesetaraan dan keberagaman gender.
Bagi bisnis yang menavigasi lanscape yang terus berkembang ini, pendekatan marketing dan branding yang berbeda sangatlah penting. Misalnya, perusahaan barang konsumen mungkin meluncurkan kampanye yang menantang stereotip gender atau menampilkan beragam representasi dalam iklan mereka.
Dengan menerapkan sikap progresif terhadap gender, merek dapat selaras dengan nilai-nilai konsumen Indonesia yang terus berkembang dan memposisikan diri mereka sebagai entitas yang sadar perkembangan sosial.
Toleransi Terhadap Ambiguitas: Mencapai Keseimbangan Yang Tepat
Konsumen Indonesia menunjukkan tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap ambiguitas, mulai dari preferensi terhadap pesan yang jelas dan lugas hingga apresiasi terhadap komunikasi yang terarah.
Perusahaan harus membuat keragaman ini dengan menjaga keseimbangan antara memberikan kejelasan dan memberikan ruang untuk interpretasi dalam upaya marketing.
Misalnya, merek barang konsumen mungkin menggunakan teknik bercerita yang membangkitkan emosi dan resonansi sekaligus memastikan pesan mereka tetap jelas dan mudah diakses.
Dengan memenuhi beragam preferensi konsumen Indonesia, dunia usaha dapat secara efektif melibatkan audiens target mereka dan mendorong loyalitas merek.
Intinya, keberhasilan dalam lanskap barang konsumsi yang kompetitif di Indonesia memerlukan lebih dari sekedar produk yang luar biasa: Hal ini memerlukan pemahaman yang berbeda mengenai budaya dan pendekatan yang disesuaikan dengan keterlibatan konsumen.
Dengan merangkul keragaman budaya Indonesia yang kaya dan menyesuaikan strategi mereka, dunia usaha dapat menjalin hubungan jangka panjang dengan konsumen dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan.
Perspektif Pemasaran Emic Vs. Etic
Terkait pemasaran di Indonesia, dunia usaha harus memahami dan mengapresiasi pendekatan emic (perspektif budaya internal) dan etic (perspektif budaya eksternal).
Pemasaran emic melibatkan pemahaman nilai, norma, dan kepercayaan suatu budaya dari dalam budaya itu sendiri, sedangkan pemasaran etic mengacu pada analisis budaya dari sudut pandang orang luar.
Misalnya, pendekatan pemasaran yang emic di Indonesia mungkin melibatkan pendalaman budaya lokal, memahami nuansa gotong royong, dan menyusun pesan-pesan pemasaran yang sesuai dengan nilai-nilai komunal.
Di sisi lain, pendekatan etic mungkin melibatkan pelaksanaan riset pasar untuk mengidentifikasi tren budaya secara menyeluruh dan kemudian menyesuaikan strategi pemasaran.
Dengan merangkul perspektif emic dan etic, dunia usaha dapat mengembangkan strategi pemasaran yang sensitif secara budaya dan efektif dalam menarik konsumen Indonesia. (*)