TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Pasukan Israel hampir sepenuhnya ditarik mundur dari wilayah selatan Jalur Gaza sejak Minggu (7/4/2024).
Militer Israel hanya menyisakan Brigade Nahal, yang ditugaskan menjaga koridor yang memutus zona selatan di Khan Younis dan pusat Kota Gaza menuju pesisir Laut Tengah.
Penarikan mundur ini menandai ditundanya operasi militer ke Rafah, area para pengungsi yang berada di tapal batas Jalur Gaza-Mesir.
Operasi Rafah ditentang Washington, karena diprediksi bakal menelan begitu banyak korban jiwa warga sipil Palestina.
Mundurnya militer Israel dari Khan Younis akhirnya memperlihatkan pada dunia, jejak kekejaman dan pembunuhan massal Israel selama operasi militer di wilayah ini.
Baca juga: Anggap Warga Gaza Adalah Binatang, Israel Bahkan Gunakan Air Sebagai Senjata Perang Genosida
Baca juga: Dukung Palestina, Kolombia Ikut Seret Israel ke ICJ soal Kasus Genosida di Gaza
Baca juga: Pintarnya Strategi Iran Merebus Katak Israel dan Amerika di Timur Tengah
Rumah Sakit As Shifa, pusat medis terbesar di Jalur Gaza, hancur lebur. Mayat warga Palestina berserakan di berbagai titik di komplek ini.
Di saat-saat akhir operasi di Khan Younis, rudal Israel menyambar konvoi mobil pekerja kemanusiaan internasional, menewaskan empat relawan asal Polandia, AS, dan beberapa negara lainnya.
Serangan itu tampak disengaja, mengingat kendaraan operasional yang digunakan memiliki tanda sangat jelas, dan kehadiran mereka sudah dikomunikasikan ke militer Israel.
Lembaga kemanusiaan itu selama ini melayani pasok makanan untuk anak-anak dan masyarakat Palestina di Jalur Gaza.
Aksi pembunuhan massal terhadap sasaran sipil, target bukan dalam pertempuran aktif atau membawa senjata juga terekam jelas lewat video drone.
Rekaman itu diperoleh ketika drone pengintai Israel ditembak jatuh di Jalur Gaza. Peristiwa memilukan ini diduga terjadi di Khan Younis pada awal Februari 2024.
Empat pria terlihat berjalan beriringan di tanah yang kiri kanan depannya tampak puing-puing bangunan akibat pemboman tanpa henti oleh Israel.
Tidak ada indikasi ke-4 pria itu bersenjata atau melakukan aktivitas permusuhan. Mereka tampak berjalan alamiah berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Tiba-tiba, rudal menghantam iring-iringan pria itu. Dua pria terjungkal diduga tewas di tempat. Pria ketiga dan keempat lolos dan berjalan menjauh.
Rekaman berikutnya menunjukkan rudal menghantam langsung pria ketiga, dan sejurus kemudian pria keempat juga dihantam rudal saat sedang berlutut.
Rekaman itu dipublikasikan situs berita Al Jazeera bulan lalu. Peristiwa ini mengingatkan aksi serupa oleh militer AS di Irak, yang dibocorkan Wikileaks pada 2010.
Konten berjudul “Collateral Murder” memperlihatkan selusin warga sipil Irak dibantai secara massal oleh pilot heli tempur Apache AH-64 milik AS di sebuah jalanan di Irak.
Penembakan dari udara itu dianggap seperti pertunjukan sirkus, atau permainan tempur ala game-game online.
Pembunuhan empat warga Palestina di Khan Younis yang terekam video drone Israel itu hanya sepotong drama mengerikan di Jalur Gaza yang jadi zona pembunuhan massal militer Israel.
Surat kabar Israel Haaretz menerbitkan artikel yang menyinggung soal “tidak ada perintah tertulis” yang menetapkan zona pembunuhan dalam buku militer Israel.
Namun menurut Haaretz, fakta berbicara, aksi-aksi kejam itu terus berlangsung tanpa pengawasan institusional.
“Pada akhirnya, batas-batas zona ini dan prosedur operasi yang tepat bergantung pada interpretasi komandan di wilayah tertentu,” tulis Haaretz.
Berbicara kepada Haaretz, seorang perwira cadangan Israel menggambarkan keadaan tersebut dalam perspektif mereka.
“Di setiap zona pertempuran, komandan menentukan zona pembunuhan tersebut. … Segera setelah orang memasuki (suatu zona), terutama laki-laki dewasa, perintahnya adalah tembak dan bunuh, meskipun orang tersebut tidak bersenjata,” katanya.
Singkatnya, warga Palestina bisa dibantai hanya karena berada di wilayah yang secara sewenang-wenang ditetapkan sebagai “zona pembunuhan” oleh beberapa komandan Israel atau lainnya.
Jika terbunuh di “zona kematian”, kemungkinan besar seseorang akan segera ditambahkan oleh Israel ke daftar “teroris”.
Menurut Haaretz, tak kurang 32.000 warga Palestina diperkirakan terbunuh di Jalur Gaza selama enam bulan terakhir.
Sebanyak 13.000 di antaranya anak-anak hingga remaja. Dari jumlah itu, Israel mengatakan sekitar 9.000 orang adalah “teroris”.
Sisanya tidak pernah dibahasakan secara faktual oleh pihak Israel. Penggunaan frasa itu secara sistematis bertujuan propagandis meletakkan kejahatan ada di pihak Palestina.
Kolumnis Al Jazeera, Belen Fernandez, menyatakan dalam konteks Israel inilah korban di “zona pembunuhan” bisa menjadi teroris juga.
Terlepas dari itu, mengenai kasus empat pejalan kaki di Khan Younis, seorang perwira senior militer Israel mengakui kepada Haaretz, target tidak bersenjata.
“Mereka tidak bersenjata. Mereka tidak membahayakan pasukan kami di daerah tempat mereka berjalan,” katanya.
Artikel tersebut selanjutnya mengutip spekulasi perwira yang sama, banyak warga sipil di Gaza menemui ajalnya setelah memasuki wilayah yang mereka pikir telah ditinggalkan oleh Israel.
Harapan mereka, masuk ke zona itu bisa menemukan makanan yang tertinggal mengingat sulitnya warga Gaza memperoleh bahan pangan.
“Ketika mereka pergi ke tempat-tempat seperti itu , mereka ditembak, karena dianggap sebagai orang yang dapat merugikan pasukan kami,” lanjut perwira itu.
Seorang juru bicara militer Israel dengan marah membantah laporan “zona pembunuhan”.
Namun pada akhirnya, Jalur Gaza adalah salah satu zona pembunuhan terbesar, dan Israel hampir tak terhentikan melaksanakan kebijakan pembunuhan massal seperti ini.
Sudah tak terhitung fakta menunjukkan Israel melakukan pembunuhan secara serampangan di Palestina.
Sejumlah rumah sakit di Jalur Gaza dihancurkan, dan itu lewat penyerbuan bersenjata serta pengeboman sistematis.
Lokasi-lokasi penampungan pengungsi yang dikelola badan-badan PBB juga dibombardir secara membabibuta.
Israel telah lama membanggakan kehebatannya dalam melakukan serangan udara yang tepat dan pembunuhan yang ditargetkan.
Namun jika angka 9.000 “teroris” yang tewas yang dihitung oleh tentara Israel mempunyai dasar yang nyata, sulit untuk menghitung lebih dari 23.000 pembunuhan tambahan lainnya.
Kecuali, tentu saja, jaminan tidak ada hubungannya dengan hal tersebut dan Israel langsung saja menargetkan warga sipil – dan ini adalah nyata-nyata cara kerja genosida.
Setelah enam bulan dilanda perang apokaliptik, Jalur Gaza saat ini menjadi sekumpulan “zona pembunuhan” di dalam zona pembunuhan yang lebih besar.
Ketika Israel melanjutkan upayanya untuk menormalisasi kebobrokan secara menyeluruh, monopoli Israel terhadap terorisme saat ini tentu akan sulit untuk dipatahkan.
Sesudah serbuan 7 Oktober 2023 oleh kelompok bersenjata Hamas ke wilayah Israel, lansekap politik dan konflik di Palestina berubah drastis.
Begitu pula lansekap politik kawasan. Meski belum meledak menjadi konflik regional tensi perlawanan terhadap Israel sudah terasa di Lebanon, Yaman, Suriah an Irak.
Pada 1 April 2024, militer Israel menggempur komplek diplomatik Iran di Damaskus, Suriah. Dua jenderal dan lima staf Korps Garda Republik Islam Iran terbunuh.
Israel, seperti biasanya, tak mengomentari peristiwa ini. AS berusaha melepaskan diri dari tanggung jawab atas partisipasinya dalam pembunuhan warga Iran.
Portal berita AXIOS di AS menulis pihak Israel telah memberi tahu Washington tentang rencana serangan udara ke Damaskus, segera setelah jet-jet tempur Israel mengudara.
Ini menunjukkan perbedaan antara Presiden AS Joe Biden dan PM Benyamin Netanyahu mencapai tingkat yang baru.
Biden belakangan mengutarakan kejengkelannya terhadap Netanyahu, yang membangkang strategi dan pendekatan AS di Jalur Gaza.
Biden tak menginginkan provokasi Israel menyeret konflik Gaza menjadi perang regional di Timur Tengah.
Israel kemungkinan merespon intensitas serangan dari Lebanon dan Yaman ke target di Israel. Juga beberapa kali serangan datang dari wilayah Yordania.
Kunjungan para pemimpin Hamas dan Jihad Palestina ke Teheran juga mengkhawatirkan Israel. Begitu pula diplomat Iran yang menemui tokoh Houthi Yaman memaksa mereka bertindak ekstrem.
Pembunuhan atas dua jenderal penting Brigade Al Quds Garda Republik Islam Iran adalah cara Israel mengintimidasi atau mungkin memprovokasi Teheran.
Netanyahu berusaha mengekspor krisis yang dihadapinya di dalam negerinya, supaya energinya berpindah ke luar negeri.
Dia perlu menghilangkan tekanan dari jalanan Israel yang menuntut pengunduran dirinya dan menyelesaikan situasi pertukaran tahanan dengan kelompok perlawanan.
Netanyahu mungkin tahu kekuasannya hampir habis dan dia menghadapi tekanan internasional sangat kuat.
Menciptakan kekacauan di mana-mana adalah langkah untuk mempersulit pihak oposisi maupun merepotkan para pendukungnya di AS dan barat.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)