News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Masalah Morgan Stanley dan Reformasi Fiskal

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gede Sandra, Sarjana untuk Indonesia

Oleh: Gede Sandra, Sarjana untuk Indonesia

TRIBUNNEWS.COM - Pada materi yang berjudul Asia EM Equity Strategy (10 Juni 2024), Morgan Stanley menurunkan peringkat Indonesia ke tingkat Underweight (UW) dari sebelumnya di Equalweight (EW). Dalam pembobotan yang dilakukan oleh bank investasi asal AS ini Indonesia turun 50 poin.

Morgan Stanley melihat ketidakpastian arah dari kebijakan fiskal mendatang, beserta kelemahan di pasar valas di tengah tingginya suku bunga di AS dan kuatnya mata uang USD. Menurut Morgan Stanley, program pemerintahan Prabowo untuk makan dan susu gratis bagi anak dan ibu hamil akan membebani anggaran (fiskal) Negara.

Baca juga: Morgan Stanley Turunkan Peringkat Saham Indonesia, Khawatir Arah Kebijakan APBN Pemerintahan Baru

Morgan Stanley dan Krisis Keuangan Dunia 2008

Namun perlu diketahui, pemberian peringkat oleh Morgan Stanley tidak selalu benar. Ini jelas disampaikan oleh Morgan Stanley juga pada laporan yang sama, di bagian penjelasan tentang Pemeringkatan Saham (Stock Ratings), bahwa pemeringkatan untuk Underweight dan peringkat lainnya seperti Overweight (OW), Equal Weight (EW) bukan dimaksudkan untuk membeli (Buy), tahan (Hold), atau jual (Sell).

Bahkan Morgan Stanley tidak menyarankan laporannya ini dijadikan patokan untuk berinvestasi, harus mempertimbangkan hal-hal lainnya. Jadi sebenarnya ini merupakan semacam disclaimer kepada para investor, agar jangan menuntut mereka bila terjadi kesalahan investasi.

Baca juga: Morgan Stanley: Orang Korea Selatan Merupakan Pembelanja Barang Mewah Terbesar di Dunia

Apa yang terjadi di masa kini tidak terlepas dari masa lalu. Bukannya hendak terus menyeret masa lalu, tapi sejarah tetap merupakan guru yang terbaik. Keputusan investasi Morgan Stanley juga pernah menjadi kesalahan terbesar yang nyaris membangkrutkan dirinya beserta bank-bank investasi raksasa Dunia lainnya pada Krisis Keuangan Dunia tahun 2008.

Pada laporan khusus yang dibuat lembaga nirlaba Better Markets (https://bettermarkets.org/) pada tahun 2019, Morgan Stanley bersama lima bank investasi lainnya: Bank of America, Citibank, Goldman Sach, JP Morgan, dan Wells Fargo diberikan bailout sebesar USD 8,2 triliun, melakukan pelanggaran 351 tindakan legal, dan dikenakan denda dan pegembalian oleh pengadilan mencapai USD 200 miliar selama periode sebelum, saat, dan pasca terjadinya Krisis Keuangan Dunia.

Baca juga: Morgan Stanley Prediksi Aktivitas Ekonomi China Akan Menggeliat pada Awal Maret 2023

Laporan ini menyatakan, lembaga keuangan semacam Morgan Stanley ini diizinkan oleh Pemerintah AS untuk memaksimalkan profit mereka dengan sedikit atau tanpa regulasi, namun ketika aktivitas investasi mereka memicu krisis, malah diberikan bailout. Morgan Stanley sendiri mendapat bailout dari pembayar pajak di AS sebesar USD 2,3 triliun, membayar denda dan pengembalian USD 5,6 miliar ke pengadilan, dan terlibat melakukan 41 tindakan pelanggaran. Dari USD 2,3 triliun tersebut, terbagi menjadi TARP (Trouble Asset Relief Program) sebesar USD 19 miliar dan non-TARP USD 2,2 triliun.

Adapun beberapa tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Morgan Stanley dan lima bank investasi lainnya adalah:

1) menyediakan riset saham yang berkonflik kepentingan;
2) berdagang mendahului klien;
3) menipu pemilik hipotek untuk membeli asuransi kredit;
4) praktek antikompetisi di pasar surat utang;
5) pelanggaran-pelanggaran antitrust, dan
6) membuat jutaan akun rekening palsu.

Reformasi Fiskal Berkelanjutan

Dengan segala rekam jejak yang disampaikan, kredibilitas Morgan Stanley tentu perlu dipertanyakan kembali. Mereka tentu tidak dapat membayangkan darimana Pemerintahan Prabowo dapat mewujudkan program-program unggulannya.

Melihat struktur fiskal Negara saat ini, peninggalan pemerintahan lama, tentu tidak banyak program yang dapat dikerjakan. Karena, pertama, beban bunga surat utang pemerintah (SBN) sudah terlalu besar, mencapai Rp 497 triliun di 2024. Kedua, banyak misalokasi anggaran, sehingga perlu dilakukan beberapa relokasi anggaran demi lebih memacu pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, rasio pajak terlalu rendah, pemerintah ke depan perlu meningkatkan pajak dari sektor yang selama ini luput dari perhatian. Dengan struktur yang lama, dimana beban bunga terlalu tinggi, anggaran kurang berdampak untuk pertumbuhan ekonomi, dan pemasukan pajak yang rendah, jelas masa depan fiskal kurang cerah.

Maka diperlukan suatu Reformasi Fiskal yang lebih berkelanjutan: Pertama. Untuk dapat mengurangi beban bunga utang dapat dilakukan teknik semacam bond swap tapi dilakukan antar pemerintahan-bank sentral. Surat utang Indonesia yang berbunga tinggi ditukar dengan surat utang Negara lain yang berbunga rendah (meskipun akan terdapat sedikit resiko kurs).

Peluang suksesnya teknik ini pernah dijajaki beberapa tahun lalu oleh seorang ekonom senior dengan gubernur bank sentral suatu negara, dan ternyata menurut gubernur bank sentral negara tersebut hal ini sangat memungkinkan.

Sederhananya utang lama bunga tinggi ditukar utang baru bunga rendah. Sehingga ke depannya beban pembayaran bunga utang dapat berkurang jauh ke depannya. Selain itu juga, karena pemilik surat utang Indonesia saat ini sudah 86 persen adalah entitas nasional (kebanyakan perbankan nasional) maka proses renegosiasi penurunan bunga utang juga akan lebih mudah dilakukan.

Tindakan ini akan menurunkan margin profit perbankan nasional tapi sangat membantu melonggarkan fiskal Negara, beban bunga utang dapat berkurang separuhnya (atau hampir Rp 250 triliun). Bila beban fiskal sudah mulai berkurang, maka penyisihan anggaran yang sebelumnya untuk bunga utang dapat digunakan untuk pembiayaan program makan siang gratis dan susu untuk bumil.

Kedua. Dengan melakukan relokasi anggaran dari pos-pos sebelumnya yang ternyata kurang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Contohnya adalah anggaran infrastruktur yang tahun ini sebesar Rp 422 triliun sebenarnya dapat direalokasi sebesar Rp 280 triliun untuk membiayai program pembangunan 2 juta rumah (1,1 juta rusun dan 900 ribu rumah tapak) setiap tahun, yang juga merupakan program unggulan Pemerintahan Prabowo. Dengan dibangun 2 juta rumah setiap tahun, maka dalam lima tahun ke depan masalah backlog (kekurangan) perumahan akan teratasi. Pembangunan rumah sangat berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan data National Association of Home Builders di AS (https://breachamber.com/how-housing-development-impacts-the-economy/), pembangunan 1 unit rumah dapat menghasilkan 2,17 lapangan kerja baru dan setiap $1 yang dihabiskan untuk pembangunan rumah dapat menghasilkan $3,08 aktivitas ekonomi di komunitas lokal (studi di Orange County).

Anggaplah faktor pengali di Indonesia tidak setinggi di AS (1:3), di sini setiap Rp 1 yang dihabiskan akan menghasilkan Rp 2,5 aktivitas ekonomi. Maka dari Rp 280 triliun anggaran Negara untuk perumahan dapat menghasilkan Rp 560 triliun baru dalam aktivitas ekonomi di masyarakat, atau tambahan sekitar 3,18 persen PDB (sudah mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen!).

Ketiga. Meningkatnya rasio pajak akan mengurangi ketergantungan fiskal kita terhadap penambahan utang baru. Fiskal yang lebih mengandalkan pajak akan lebih berkelanjutan ketimbang yang mengandalkan utang dengan bunga tinggi seperti saat ini. Bila rasio pajak kita meningkat sebesar 1 persen, maka ada tambahan Rp 221 triliun baru untuk perekonomian. Bila rasio pajak kita meningkat dari saat ini 10 persen ke 15 persen saja, maka kita akan ada tambahan sekitar Rp 1.100 triliun dana segar yang bukan

berasal dari utang. Bila begini apa lagi perlunya berutang? Mungkin inilah yang membuat belum lama ini Menteri Keuangan kita tidak berani menyusun peta kenaikan tax ratio Indonesia, karena memang beliau hanya pandai berutang. Hanya masalahnya saat ini soal pemungutan pajak sangat lekat dengan korupsi dan kongkalingkong.

KPK pernah mengungkap bahwa 30 persen perusahaan sawit di Sumatera mengemplang pajak. Padahal sektor kelapa sawit menyumbang 33,7 persen dari total devisa hasil ekspor. Selain sawit, sektor ekonomi unggulan Indonesia lainnya adalah pertambangan/minerba. Sudah banyak fakta para pejabat pajak kerap kongkalingkong dengan pengusaha tambang. Seharusnya, dengan mengurangi korupsi dalam pemungutan pajak di sektor sawit dan minerba, tambahan 5 persen tax ratio bukan hal yang sulit.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini