Data BPS mengungkapkan bahwa pada tahun 2023, jumlah pernikahan di Indonesia mengalami penurunan sebesar 128.000 dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan, dalam satu dekade terakhir, angka pernikahan di Indonesia telah merosot sebanyak 28,63 persen.
Fenomena ini seperti bom waktu yang mengancam keberlangsungan keluarga Indonesia. Berbagai faktor, mulai dari tuntutan ekonomi, ambisi karier, hingga perubahan gaya hidup, menjadi penghalang bagi kaum muda untuk mengikat janji suci.
Akibatnya, regenerasi bangsa terancam, dan masa depan Indonesia menjadi tanda tanya besar.
Di tengah pusaran modernitas yang penuh tantangan, keluarga Indonesia harus berjuang untuk mempertahankan ikatan cinta yang telah terjalin.
Penting bagi setiap pasangan untuk memperkuat komunikasi, saling memahami, dan mencari solusi bersama atas setiap masalah yang dihadapi.
Hanya dengan cara ini, keluarga Indonesia dapat bertahan dan bahkan berkembang menjadi lebih kuat di tengah terpaan badai modernitas.
Di balik layar gawai yang menyala, tersembunyi ancaman yang tak kalah nyata bagi keutuhan keluarga.
Media sosial, yang seharusnya menjadi jembatan penghubung, justru berubah menjadi jerat yang menjerat erat. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) (2021) mengungkapkan 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan di Indonesia menyaksikan kegiatan seksual (pornografi) melalui media daring (online).
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) tercatat pada rentang Januari hingga November 2023 terdapat 15.120 kasus kekerasan terhadap anak dengan 12.158 korban anak perempuan dan 4.691 korban anak laki-laki dimana kasus kekerasan seksual menempati urutan pertama dari jumlah korban terbanyak sejak tahun 2019 sampai tahun 2023.
Tidak sedikit keluarga-keluarga mengalami konflik akibat penggunaan media sosial yang tak bijak. Kecemburuan virtual, perselingkuhan maya, bahkan cyberbullying menjadi hantu yang bergentayangan di dunia digital, meracuni pikiran dan merusak hubungan.
Tak hanya itu, beban pikiran yang tak terbendung juga menjadi bom waktu yang mengancam keharmonisan keluarga.
Stres, depresi, dan kecemasan menghantui setiap anggota keluarga, dari orang tua hingga anak-anak. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mengungkap fakta bahwa 9,8 persen penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional, 6,1% depresi, dan 3,7% kecemasan.
Jika dibiarkan, masalah kesehatan mental ini dapat menjadi api dalam sekam, memicu konflik dan bahkan kekerasan dalam rumah tangga.
Keluarga Indonesia harus menyadari bahwa ancaman ini nyata dan tak bisa diabaikan. Bijak dalam menggunakan media sosial, membangun komunikasi yang terbuka, serta mencari bantuan profesional jika diperlukan adalah kunci untuk menjaga keutuhan dan kebahagiaan keluarga.
Ingatlah, keluarga adalah tempat berlindung yang paling aman, jangan biarkan jerat digital dan beban pikiran merenggut kebahagiaan yang telah terjalin.