TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Kelompok kanan Prancis yang berintikan partai Reli Nasional, merebut kemenangan di putaran pertama Pemilu Parlemen Prancis.
Pemilu ini digelar lebih awal setelah Presiden Prancis Emanuel Macron membubarkan parlemen sebagai buntut kekalahan partainya di Pemilu Parlemen Uni Eropa.
Reli Nasional yang dipimpin tokoh muda Jordan Bardella memenangkan kursi terbanyak, dan mengubah drastis lansekap politik Prancis.
Macron selama beberapa tahun tampil sebagai pemimpin politik berhaluan tengah Renaisans yang menyebut diri mereka Together atau Ensemble.
Hasil exit poll Minggu malam 30 Juni 2024 oleh lembaga survei Ipsos dan Talan, Reli Nasional dan sekutunya memimpin dengan perolehan 33,2 persen suara.
Peringkat kedua blok sayap kiri Front Populer Baru meraih dukungan 28,1 persen. Sedangkan Koalisi Macron di urutan ketiga dengan hasil 21 persen suara.
Tingkat partisipasi pemilih diperkirakan mencapai 65,5 persen, tertinggi yang pernah terjadi di Prancis dalam empat dekade.
Menurut proyeksi Radio France Internationale (RFI), Reli Nasional siap mendapatkan antara 230 dan 280 kursi di Majelis Nasional yang beranggotakan 577 orang.
Sementara perkiraan untuk blok Macron adalah antara 70 dan 100 kursi. Perbandingan yang sangat kontras di antara dua blok utama politik Prancis ini.
Baca juga: Sayap Kanan Pimpin Hasil Putaran Pertama Pemilu Parlemen, Bagaimana Masa Depan Prancis?
Baca juga: Partainya Kalah, Presiden Macron Bubarkan Parlemen dan Serukan Pemilu Nasional Dipercepat
Para pendukung Reli Nasional sejak Minggu mala merayakan kemenangan mereka, ketika para pemimpin partai mendesak mereka untuk memobilisasi dukungan di putaran kedua pemungutan suara pada 7 Juli 2024.
Marine Le Pen, mantan pemimpin Reli Nasional mengatakan, rakyat Prancis hampir memusnahkan blok Macronis.
Ia meminta Reli Nasional tetap memenangkan mayoritas absolut agar Emmanuel Macron terpaksa mencalonkan Jordan Bardella sebagai Perdana Menteri Prancis.
Hasil ini membuat Macron sangat kecewa, dan menyerukan para pemilih untuk menghalangi kelompok sayap kanan dan mencegah Reli Nasional nantinya mengendalikan parlemen.
Perdana Menteri Gabriel Attal juga mendesak semua kekuatan menghentikan kelompok sayap kanan yang ingin memperoleh mayoritas absolut.
Pemimpin Front Populer Baru Jean-Luc Melenchon menggambarkan hasil Pemilu ini kekalahan berat dan tak terbantahkan terhadap aliansi Macron.
Ia turut menyerukan rakyat Prancis bersatu melawan Reli Nasional. Seruan ini menggambarkan dalamnya perseteruan kubu kiri dan kubu kanan Prancis.
Meski sementara unggul, blok Reli Nasional harus menunggu hasil final putaran kedua, yang akan menentukan apakah mereka akan merebut kursi Perdana Menteri atau tidak?
Apa makna keunggulan Reli Nasional bagi Prancis? Apa pula dampaknya bagi posisi Prancis dalam geopolitik Eropa dan dunia?
Pertama, jika Reli Nasional benar-benar memenangkan pertarungan politik, sudah pasti Prancis akan terbelah dalam semua kebijakan domestik maupun globalnya.
Kubu kanan adalah kekuatan yang terus menerus menyuarakan nasionalisme Prancis, berpandangan konservatif, skeptis terhadap Euro dan NATO.
Di satu sisi Macron adalah pemimpin yang sangat liberalis, berorientasi pasar bebas, dan sangat pro-Uni Eropa.
Pendekatan kebijakan luar negeri Reli Nasional adalah percaya gagasan Prancis yang berdaulat yang menolak tirani hegemon AS dan kekuatan supranasional Uni Eropa.
Mereka mengklaim ingin mengembalikan hak nasionalnya untuk membuat Prancis bisa independen memilih kebijakan luar negerinya.
Pandangan-pandangan Reli Nasional ini jelas bertabrakan dengan ide Macron dalam banyak hal, termasuk menyangkut peperangan Rusia-Ukraina.
Macron sangat agresif, dan tokoh Eropa yang pertama kali mengajak Uni Eropa mengirimkan serdadunya ke Ukraina guna bertarung melawan Rusia.
Macron pula yang mendorong perluasan Uni Eropa yang mencakup Ukraina, Moldova, dan Kawasan Balkan Barat, ide yang ditentang Reli Nasional.
Anggota Reli Nasional membela pendekatan revisionis terhadap Kosovo dan Bosnia, menyalahkan ekstremis Muslim karena menganiaya dan mengusir umat Kristen Ortodoks di wilayah tersebut.
Reli Nasional menentang upaya Macron menyusun struktur pertahanan Eropa dan mendukung Prancis sebagai penyedia keamanan bagi warga Eropa jika terjadi pengurangan jumlah AS dari Eropa.
Macron menghidupkan kembali gagasan Eropaisasi untuk kepentingan vital Prancis, yang dapat memicu penggunaan senjata nuklir Prancis.
Ini juga ide yang ditentang kuat Reli Nasional. Meski situasi politik saat ini tegang, Prancis di masa lalu punya pengalaman dipimpin dua blok politik berbeda.
Di era Presiden Prancis Francois Mitterand, kekuasaan negara terbagi antara kekuatan sosialis yang diwakili Presiden Mitterand, dan kelompok sayap kanan yang diwakili Perdana Menteri Jaqcues Chirac.
Di era berikutnya Jacques Chirac dari sayap kanan gentian harus berbagi kekuasaan dengan pemimpin sosialis Lionel Jospin.
Di dua era yang terbelah ini, dua kubu sepakat menafsirkan pembagian kerja berdasarkan konstitusi Republik Kelima.
Presiden adalah panglima angkatan bersenjata, penjamin kemerdekaan nasional, dan pihak yang akan merundingkan dan meratifikasi perjanjian.
Presiden-presiden Perancis berupaya menerapkan apa yang sekarang disebut “domaine réservé” dalam kebijakan luar negeri, keamanan, pertahanan, dan intelijen.
Sedangkan perdana menteri pada umumnya menghormati aturan tidak tertulis ini. Jarang terjadi ketika mereka memperluas peran mereka, presiden akan menegur mereka.
Ketika Jacques Chirac diam-diam membantu mantan Presiden Republik Kongo Denis Sassou Nguesso untuk operasi penegakan hukum, Mitterrand langsung menyuratinya.
Ketika Lionel Jospin memicu kemarahan di Timur Tengah dengan menyebut tindakan Hizbullah terhadap Israel sebagai “aksi teror” pada tahun 2000, Chirac meneleponnya dan mengingatkan dialah yang berhak atas kebijakan luar negeri Prancis.
Konstitusi juga memberikan tanggung jawab yang besar kepada Perdana Menteri, khususnya tanggung jawab atas pertahanan nasional, “menjalankan kebijakan negara,” dan “memiliki layanan sipil dan angkatan bersenjata.”
Konfigurasi dan konstelasi ini jika Reli Nasional benar-benar memenangkan Pemilu Parlemen Prancis, bisa dipastikan Emanuel Macron akan kehilangan ruangnya menyuarakan kebijakan agresifnya.
Langkahnya mendukung total Ukraina, mengirimkan senjata canggih, dan konon menyelundupkan intelijen dan pasukan komandonya ke Ukraina, akan berubah.
Nada suara Macron terlihat mulai berubah setelah hasil Pemilu Parlemen Uni Eropa terlihat. Macron mengatakan dirinya siap kembali berkomunikasi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Kemenangan Reli Nasional pada akhirnya juga kemungkinan mengubah blok politik Eropa, sekaligus akan berdampak pada geoppolitik global.
Di Jerman kekuatan kanan juga unggul. Begitu pula di Belgia dan Belanda, yang memperlihatkan kemenangan kubu kanan.
Prancis ke depan mungkin tidak mengubah drastis dukungannya ke Ukraina, tapi mungkin akan menurunkan tingkat bantuannya.
Mentornya, Marine Le Pen memiliki kontak sangat baik dan dekat dengan Moskow, tapi Bardella akan menghadapi realitas baru.
Pemimpin Reli Nasional Jordan Bardella tetap akan membantu Kiev, tapi menolak aliran senjata berkekuatan besar, rudal jarak jauh, dan pengiriman pasukan ke Ukraina.
Itu disebutnya garis merah Prancis. Mengenai masalah Palestina-Israel, dan perang Gaza, Reli Nasiona telah menyatakan sikapnya yang pro-Israel.
Itu langkah politik mereka membersihkan diri dari noda antisemitisme, yang berakar pada sejarah partai tersebut di masa lalu.
Terhadap China, Reli Nasional belum memiliki sikap jelas kecuali selalu menyodorkan narasi “patriotisme ekonomi”.
Kebangkitan sayap kanan di Eropa ini agaknya sejalan dengan menguatnya kembali kekuatan Donald Trump di Amerika Serikat.
Keunggulan politik Reli Nasional dari blok kanan ini pasti akan membuat Macron menghadapi apa yang pernah dialami Presiden Francoois Mitterand dan Jacques Chirac.
Sebuah situasi politik yang akan membuat Macron sedikit sibuk dengan urusan domestiknya hingga 2027, dan mengerem perannya dalam berbagai konflik global.
Macron juga akan kehilangan kesempatan tampil kembali sebagai petahana di Pemilu 2027, mengingat posisi partainya yang hanya ada di posisi ketiga.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)