Oleh: Yusuf Blegur
Mantan Presidium GMNI dan Aktivis 98
TRIBUNNERS - Terlepas dari distorsi kekuasaan rezim Jokowi termasuk dalam masalah hukum, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tetap dituntut bersikap obyektif dan proposional terhadap KPK.
Mega yang membidani kelahiran KPK, berhak menentukan sikap untuk konsisten menegakkan supremasi hukum atau hanya sekadar menyelamatkan anggota dan kader yang tersandung masalah.
Sikap oposisi PDIP yang dimotori Megawati terhadap pemerintahan Jokowi semakin meruncing.
Polarisasi perseteruan dua kekuatan politik yang sebelumnya seiring-sejalan itu, kini mulai terbuka dan saling menjatuhkan.
Menjadi perhatian publik dan berpotensi menguras energi bangsa, pertarungan kedua figur berpengaruh itu terus berlanjut memainkan politik kekuasaan.
Adu kekuatan dan adu ketahanan menggunakan instrumen politik, tak terkecuali aparat dan institusi pemerintahan yang bisa dikendalikan baik oleh Jokowi maupun Megawati.
Menarik dan tentu sangat seksi ketika lembaga antirasuah yang bernama KPK ikut terseret-seret sebagai alat pertarungan dan pengendalian dari konfrontasi seorang presiden di ujung masa jabatan dan satu lagi seorang mantan presiden.
Jokowi menjadi presiden berkuasa di akhir pemerintahannya dan kerap disebut berperan penting menggunakan kPK untuk melemahkan lawan politiknya termasuk Megawati dan PDIP.
Di lain sisi Mega terus ditarget akibat bertentangan dengan kebijakan Jokowi dan diperburuk oleh skandal korupsi beberapa anak buahnya di PDIP.
Paling menyedot perhatian publik sekaligus berlarut-larut penanganannya adalah dugaan kasus yang menimpa sekjen PDIP Hasto Kristianto yang terlilit kasus suap Harun Masiku.
Mega (mungkin seperti) sedang mengalami pergulatan pemikiran dan konflik batin yang melelahkan saat berhadapan dengan KPK.
Antara menjunjung tinggi supremasi hukum atau membela anggota dan kader PDIP yang disebut terindikasi terlibat korupsi.
Mega seperti dalam tekanan yang hebat karena menghadapi politik sandera dari Jokowi yang dianggap menggunakan KPK.