Selain faktor yang disebutkan sebelumnya, banyak yang menilai bahwa penerapan dwi bahasa pada anak juga berperan terhadap keterlambatan bicara pada anak (speech delay).
Namun, apakah benar demikian?
Dikutip dari laman halodoc, gagasan bahwa mengajarkan dua bahasa dapat menyebabkan keterlambatan bahasa atau language delay pada anak telah menjadi mitos yang telah lama menyebar di masyarakat Amerika Serikat.
Saat ini, di Indonesia juga berkembang mitos yang sama.
Penerapan konsep dwi bahasa pada anak dianggap dapat menyebabkan gangguan bicara atau keterlambatan bicara pada anak.
Namun, Santoso (2023) dikutip dari PrimaKu yang merupakan website mitra resmi dari Kementrian Kesehatan RI, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan BKKBN menyatakan bahwa anak dari keluarga bilingual memiliki perkembangan bahasa yang setara dengan anak dari keluarga non-bilingual.
Artinya, anak yang dibesarkan dalam lingkungan bilingual dan dipaparkan dua bahasa sejak dini bisa mengembangkan kemampuan bahasa sama baiknya dengan anak-anak yang dipaparkan hanya satu bahasa oleh lingkungannya.
Adapun gangguan bicara atau keterlambatan bicara pada anak bisa jadi disebabkan oleh faktor-faktor lainnya.
Sambo (2017), seorang dokter spesialis anak dalam website resmi IDAI mengatakan bahwa ada berbagai kemungkinan penyebab terlambat bicara pada anak, seperti kelainan bentuk organ penghasil suara, ganguan pendengaran, gangguan perilaku, gangguan perkembangan umum, specific language imparment, disabilitas intelektual, kurang stimulasi, masalah psikososial, maupun penyebab lainnya.
Jadi penerapan bilingual pada anak sejak dini bukanlah hal yang patut dikhawatirkan.
Namun demikian, orangtua tentunya tetap harus membuka mata agar anak-anak dapat terhindar dari speech delay.
Peran orangtua sangat vital dalam perkembangan bahasa anak karena dalam kesehariannya, anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya berinteraksi dengan orangtuanya dirumah, terutama anak di usia batita (bayi tiga tahun).
Perkembangan bahasa anak, tentunya bukan hal yang bisa didapatkan secara instan, diperlukan stimulasi dari lingkungan sekitarnya.
Meski bayi belum bisa berbicara, namun bayi yang tidak memiliki kecacatan pendengaran, kecacatan neurologis, kecacatan mental, atau kecacatan pita suara mampu memberi respon terhadap stimulasi yang orang sekitarnya berikan.