News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

KDRT Marak, Sudahkah Para Perempuan di Negeri Ini Merdeka Seutuhnya?

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi kemerdekaan RI

TRIBUNNEWS.COM - Tahun ini, pada 2024, tepat 79 tahun sudah Negara Republik Indonesia merdeka dari kekangan penjajah.

Saat ini rakyat Indonesia sudah tidak lagi ada dalam tekanan para penjajah dan sudah bebas dari segala pemaksaan kehendak penjajah. Dari bidang ekonomi, rakyat mendapatkan kebebasan untuk melaksanakan usaha -usaha dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan baik dengan berwiraswasta atau bekerja di perusahaan.

Dalam bidang pendidikan, rakyat diberi kesempatan luas untuk belajar mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Tidak hanya kesempatan bagi kaum laki-laki, namun peluang ini juga terbuka bagi kaum perempuan.

Sudah ada sejumlah profesor, pengusaha, anggota dewan bahkan menteri yang diwakili para perempuan hebat dan tangguh.

Namun demikian, apakah perempuan sudah benar-benar merdeka?

Meski kesempatan untuk mengenyam bangku pendidikan, melakukan usaha, dan menduduki bangku pemerintahan bagi kaum perempuan sudah terbuka, rupanya perempuan di negeri ini belum benar-benar lepas dari "penjajahan".

Pada 14 Agustus 2024 lalu, mencuat postingan seorang wanita pemengaruh (influencer) berinisial CIN tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suaminya sendiri, sosok yang seharusnya menjadi tempat berlindungnya.

Postingan ini sendiri telah dikomentari lebih dari 1 juta pengguna instagram yang mengutuk perbuatan pelaku.

Terungkap bahwa ini bukanlah tindakan yang dilakukan pertama kali oleh sang suami. Bertahun-tahun, tindakan KDRT sering dilakukan olehnya.

Sang suami, yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Bogor ternyata dipergoki oleh sang istri telah berkali-kali selingkuh dengan perempuan lain.

Diduga tindakan KDRT tersebut dilakukan saat sang istri mengkonfirmasi dan marah atas tindakan yang tersangka lakukan.

Ini bukanlah satu-satunya kasus KDRT yang viral di negeri ini.

Idham dkk (2020), akademisi dari Program Studi  Ilmu Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai mengatakan bahwa “hak mendapat perlindungan individu dan keluarga dijamin oleh negara sebagaimana isi penjelasan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”.

Namun, banyak dari para perempuan yang mendapatkan KDRT dari suaminya, sulit melepas diri dari belenggu dengan alasan khawatir mengganggu psikologis anak.

Padahal dengan terpaksa bertahan dalam kesakitan, perempuan sedang menggerogoti psikologisnya sendiri. Inilah salah satu bukti dari ketidakmerdekaan seorang perempuan.

Selain kasus KDRT yang terjadi, praktik patriarki yang masih menyelimuti rumah tangga para pasangan menikah di negeri ini juga mengundang keprihatinan.

Sistem patriarki yang  mendominasi   kebudayaan   masyarakat menyebabkan     adanya     kesenjangan     dan ketidakadilan   gender   yang   mempengaruhi hingga  ke  berbagai  aspek  kegiatan  manusia (Sakina & Desi, 2017).

Seorang istri dan ibu dituntut untuk melakukan pekerjaan domestik dengan sempurna selain harus dapat mengurus anak dengan baik.

Sayangnya, masih banyak suami yang menganggap tugas pengasuhan dan urusan domestik hanyalah bertumpu di pundak istri.

Penganut patriarki menganggap bahwa tugas seorang suami hanyalah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan lahir anak dan istri.

Sedangkan kebutuhan batin anak untuk dijaga dan diajak bermain oleh ayah, kebutuhan batin istri untuk dibantu diringankan pekerjaan domestiknya belum menjadi prioritas bagi sebagian ayah di negeri ini.

Lagi-lagi, perempuan belum sepenuhnya terlepas dari budaya patriarki negeri ini.

Hal lain yang cukup memprihatinkan adalah seorang perempuan seringkali disalahkan jika sudah menikah namun dalam kurun waktu tertentu belum juga hamil.

Ada saja kasus dimana orangtua dari suami atau bahkan suaminya sendiri yang meminta ijin sang istri untuk menikah lagi karena sang istri belum juga hamil.

Padahal, kasus infelrtilitas bukan hanya ditemukan pada perempuan namun juga laki-laki. Hasil   penelitian membuktikan  bahwa  suami  menyumbang 25-40 persen dari angka kejadian infertil, istri 40-55 persen, keduanya 10 persen dan idiopatik 10 persen.

Hal ini dapat menghapus anggapan bahwa infertilitas  terjadi murni karena kesalahan dari pihak wanita/istri (Riyanti Imron, 2016).

Pihak laki-laki dan keluarganya, seringkali menyalahkan perempuan ketika dalam sebuah rumah tangga belum ada keturunan.

Biasanya dalam kasus seperti ini perempuan atau istri yang lebih “aware” untuk memeriksakan dirinya ke dokter kandungan untuk mencari tahu dimana masalah dalam organ reproduksinya.

Sementara itu, laki-laki atau suami, banyak yang tidak “aware” terhadap pemeriksaan fertilitas ini.

Contohnya rekan penulis, sorang suami yang berprofesi sebagai guru, setelah hampir 20 tahun menikah namun belum diberi keturunan.

Istrinya, sudah melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan dan dinyatakan sehat juga tidak ada masalah dengan organ reproduksinya.

Sayangnya, sang suami, hingga saat ini tidak mau memeriksakan kondisi reproduksi dirinya.

Sementara, stigma di masyarakat seringnya menyalahkan perempuan atas kondisi seperti ini.

Hal ini menunjukkan bahwa perempuan belum sepenuhnya bisa bebas dari stigma masyarakat yang ditujukan padanya.

Peristiwa di atas adalah sebagian kecil bukti bahwa perempuan belum seutuhnya merdeka dari perlakuan semena-mena dan stigma dari masyarakat bahkan orang terdekatnya sendiri.

Menghadapai situasi ini adalah tantangan yang kompleks. Untuk itu, perlu diambil beberapa langkah untuk mendukung perubahan dan menjaga hak-hak perempuan.

Salah satu Langkah untuk menghadapi perlakuan semena-mena dan stigma terhadap perempuan adalah melalui pendidikan.

Pendidikan  adalah kunci untuk mengubah pandangan dan sikap. Chotimah dkk (2021) dari Universitas Sriwijaya mengatakan bahwa “pendidikan merupakan suatu proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau kelompok”.

Perlu adanya edukasi yang membahas tentang hak-hak perempuan, kesetaraan gender, dan dampak negatif dari stigma dapat membantu untuk mengubah perspektif masyarakat.

Selain itu, perempuan yang mendapatkan perlakuan semena-mena sangat perlu diberi dukungan emosional. Ini bisa berupa mendengarkan, memberikan dorongan agar mereka mencari bantuan profesional jika diperlukan.

Kampanye di masyarakat, baik berupa tulisan, atau kegiatan lain, dapat membantu meningkatkan kesadaran dan menekan perubahan sosial.

Bagi perempuan yang menghadapi stigma atau perlakuan tidak adil dari orang terdekat, Langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan dialog terbuka dan komunikasi yang jujur.

Perubahan perlahan bisa dimulai dari keluarga dan lingkungan terdekat.

Pada momen hari kemerdekaan ini, penulis berharap semoga dengan meningkatnya kuantitas dan kualitas Pendidikan di Indonesia, semakin terbuka juga pikiran masyarakat untuk tidak mudah memberikan stigma kepada perempuan. Selain itu, penulis berharap agar para perempuan bisa lebih kuat dan terbuka ketika ada perilaku yang mengancam kemerdekaannya sebagai manusia dan tidak menganggap apa yang dialaminya sebagai sebuah aib. Berdayalah perempuan Indonesia. Merdekalah perempuan pendidik generasi masa depan. Dirgahayu Republik Indonesia.

Penulis: Umi Hani, S.S., M.Pd. (Working Mom, Dosen Prodi Sastra Inggris, Universitas Pamulang) 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini