TRIBUNNEWS.COM, CARACAS – Aparat Departemen Kehakiman Amerika Serikat menyita sebuah pesawat jet milik Venezuela yang biasa dipakai kegiatan Presiden Venezuela Nicolas Maduro.
Pesawat itu disita saat berada di Republik Dominika. Menurut penjelasan pihak berwenang Washington, pesawat itu dibeli dengan melanggar sanksi sepihak AS ke Venezuela.
Seorang pejabat AS menyebutkan, tindakan itu sebagai pesan jelas Washington, bahwa tidak seorangpun berada di atas jangkauan sanksi negara itu.
Pesawat itu telah diterbangkan ke Miami, Florida dari Republik Dominika, sebuah negara mini yang berada di bawah kontrol kekuasaan Paman Sam.
Apa yang sebenarnya terjadi di Venezuela, Amerika, dan Dominika? Benarkah Washington ingin mendongkel Nicolas Maduro dari istananya di Caracas lalu menguasai minyak Venezuela?
Departemen Kehakiman AS mengatakan pesawat yang biasa digunakan Maduro itu disita berdasarkan pelanggaran undang-undang pengendalian ekspor dan sanksi.
Amerika sejak lama menuduh Maduro melakukan perdagangan narkoba dan menolak mengakui kemenangannya dalam dua pemilihan presiden Venezuela terakhir.
“Menyita pesawat kepala negara asing tidak pernah terdengar dalam kasus pidana. Kami mengirimkan pesan yang jelas di sini tidak seorang pun kebal hukum, tidak seorang pun kebal dari jangkauan sanksi AS,” kata seorang pejabat Washington.
Baca juga: AS Sita Pesawat Jet Pribadi Presiden Venezuela Dassault Falcon 900EX di Republik Dominika
Baca juga: AS Akui Kandidat Oposisi Edmundo González sebagai Pemenang Pilpres Venezuela
Baca juga: Rencana Jahat AS Kuasai Cadangan Raksasa Minyak Venezuela
Jaringan media global CNN pertama kali melaporkan berita tersebut pada Senin (2/9/2024), dan mendapatkan keterangan pertama dari pejabat AS.
Menurut CNN, pesawat tersebut bernilai sekitar $13 juta dan disita bekerja sama dengan otoritas Dominika.
Miami Herald mengidentifikasi pesawat itu sebagai Dassault Falcon 900EX, jet perusahaan buatan Prancis yang sebelumnya telah mengunjungi Kuba, Brasil, dan St Vincent dan Grenadines.
Maduro seringkali menggunakan pesawat yang terdaftar di San Marino. The Herald mengutip catatan dari Badan Penerbangan Federal AS (FAA) yang menunjukkan sebuah perusahaan yang berbasis di Florida menjual pesawat tersebut ke sebuah perusahaan di St Vincent.
Dari sinilah pesawat terjual ke pembeli yang terdaftar di San Marino. Pemerintah AS menuduh penjual adalah perusahaan cangkang dari Venezuela.
Pejabat Amerika menggambarkan jet tersebut sebagai "Air Force One" Venezuela.
Tidak jelas bagaimana pesawat itu berakhir di Republik Dominika, karena Venezuela menangguhkan perjalanan udara komersial dengan pulau itu setelah pemilihan presiden 28 Juli.
Menurut CNN, AS menyita pesawat itu melalui proses perampasan aset. Ini berarti Venezuela secara teoritis dapat menggugatnya di pengadilan, jika dapat menemukan cara untuk menghindari sanksi.
Ini adalah jet Venezuela kedua yang disita oleh AS tahun ini. Pada bulan Februari, Argentina mengirim ke AS sebuah pesawat kargo Boeing 747-300M yang disita pada tahun 2022.
Pemerintah Caracas diduga membelinya dari perusahaan Iran yang dikenai sanksi. Maduro menyebut penyitaan itu sebagai "pencurian terang-terangan" oleh pemerintah Presiden Argentina Javier Milei.
Washington dalam konflik panjangnya dengan Venezuela telah menyita rekening bank dan aset Venezuela senilai $2 miliar dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah Rusia melihat tindakan terbaru Amerika ke Venezuela ini mengabaikan secara penuh norma hukum internasional.
“Mereka telah mengirimkan sinyal lain bahwa AS, sebagaimana dipahaminya, dapat membuang properti kedaulatan negara lain," kata juru bicara Kemenlu Rusia, Maria Zakharova.
Tindakan penyitaan atau perampasan asset Venezuela secara sepihak oleh Washington ini dianggap aksi "pembajakan" nyata.
Kemarahan itu dikemukakan Menteri Luar Negeri Venezuela, Ivan Gil Pinto. Menurutnya ini adalah praktik kriminal berulang yang tidak dapat digambarkan sebagai apa pun selain pembajakan.
AS, tambahnya, secara ilegal menyita pesawat yang telah digunakan oleh presiden republik tersebut, membenarkan diri mereka dengan tindakan pemaksaan yang mereka terapkan secara sepihak dan ilegal di seluruh dunia.
Pemerintah Maduro juga memperingatkan mereka berhak untuk mengambil tindakan hukum apa pun untuk memperbaiki kerusakan ini terhadap negara, serta semua kerusakan lain yang disebabkan oleh kebijakan kriminal Washington.
Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Eduardo Rodriguez bergabung dalam reaksi keras tersebut, mengutuk apa yang disebutnya sebagai “penyitaan ilegal dan curang” atas pesawat Maduro, dan menuduh AS melanggar hukum internasional.
AS dan Venezuela telah lama berselisih, dengan Washington secara konsisten mendukung perubahan rezim di negara Amerika Latin tersebut.
Pada tahun 2019, AS mengakui Juan Guaido, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Majelis Nasional Venezuela, sebagai presiden sementara yang sah di negara tersebut, sekaligus mendukung pihak oposisi.
Pada bulan Agustus 2024, AS juga mengakui pesaing utama Maduro, Edmundo Gonzalez, sebagai pemenang pemilihan presiden terbaru.
Realitasnya, Komisi Pemilihan Umum Venezuela menyatakan Nicolas Maduro kembali memenangkan pemungutan suara, yang diikuti kerusuhan di Venezuela dan berbagai kota oleh oposisi.
Washington telah memberlakukan sanksi ekonomi yang keras terhadap Venezuela dalam upaya untuk menekan negara tersebut.
Washington melarang perusahaan-perusahaan AS untuk berbisnis dengan siapa pun yang terkait dengan pemerintah Venezuela, meski belakangan ada sedikit kelonggaran terkait bisnis minyak.
Pemerintah AS juga telah membekukan aset keuangan Venezuela yang berada atau ditempatkan di bank-bank Amerika.
Kebijakan keras rezim Washington terhadap Nicolas Maduro ini adalah sikap nyata hipokritnya Amerika, dan telah berlangsung bahkan sejak era almarhum Hugo Chavez.
Chavez yang seorang Bolivarian dan tokoh terpopuler di Venezuela memilih jalan kiri, dan ini tidak disukai Amerika yang mengakomodasi raksasa-raksasa migas negara itu.
Venezuela masih bertahan pada sikapnya, termasuk ketika Nicolas Maduro terpilih sebagai Presiden menggantikan Hugo Chavez dan Pedro Carmona.
Venezuela saat ini adalah negara yang memiliki cadangan terbesar minyak bumi di dunia, selain Arab Saudi dan Kanada.
Kekayaan alam itulah secara praktis jadi pangkal dan sebab musabab mengapa Amerika sangat bernafsu mengontrol pemerintah yang berkuasa di Venezuela.
Embargo keras yang ditetapkan pemerintah AS ke Venezuela itu diikuti sekutu-sekutu kuatnya di benua Amerika maupun Eropa.
Ini menyebabkan perusahaan migas Venezuela nyaris kolaps, karena tidak bisa beroperasi dan memelihara fasilitasnya saat sanksi Amerika diterapkan.
Embargo itu juga menciptakan krisis ekonomi, menjatuhkan nilai mata uang Venezuela, memicu pengangguran tinggi, dan kesulitan ekonomi yang sangat akut.
Ekonomi Venezuela di masa sulit ini banyak tertolong oleh Rusia, China, dan Iran yang mengirim kapal-kapal tanker minyaknya dan turut membantu memperbaiki infrastruktur migas negara itu.
Blokade laut armada militer Amerika Serikat tidak banyak berarti, dan sebagian besar tanker Iran berhasil mendarat di Caracas, menyelamatkan krisis di negara itu.
Ketika pecah perang di Ukraina dan disusul konflik Israel-Hamas, Washington agak mengendorkan sanksi dengan mengizinkan eksplorasi minyak melibatkan raksasa migas AS.
Minyak Venezuela boleh disedot oleh perusahaan migas patungan Venezuela dengan Chevron, lalu hasilnya dialirkan ke pasar Amerika.
Data global menunjukkan Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, yaitu sebesar 300 miliar barel (4,8×1010 m3) per 1 Januari 2014.
Tinjauan Statistik BP Energi Dunia edisi 2019 melaporkan total cadangan minyak Venezuela adalah 303,3 miliar barel. Angka ini sedikit di atas Arab Saudi sebesar 297,7 miliar barel.
Namun minyak mentah Venezuela memiliki karakteristik berbeda. Berat jenis lebih berat dari standar minyak mentah lain, sehingga pemrosesannya lewat kilang khusus.
Inilah pangkal masalah, sebab musabab, dan pemantik dari berbagai usaha Washington mengguncang Venezuela.
Destabilisasi Venezuela dilakukan dari dalam maupun luar negeri. Paling dahsyat adalah ketika intelijen AS dan Kolombia bersekongkol menyelundupkan regu pembunuh ke Venezuela.
Regu pembunuh yang mengincar Maduro itu terdiri anggota kelompok tentara bayaran eks Green Berret AS, para petualang Kolombia dan oposisi Venezuela.
Operasi itu bisa digagalkan di perbatasan Kolombia-Venezuela. Operasi lintas batas itu jadi ledakan di tengah guncangan politik Venezuela saat oposisi mengklaim diri sebagai pemerintah yang sah.
Kelompok oposisi ini menerima dukungan kuat Washington, sejumlah anggota Uni Eropa, serta beberapa rezim pro-AS di sekitar Venezuela.
Hingga hari ini, Nicolas Maduro masih bertahan dengan politik populisnya, mempertahankan minyak Venezuela dari upaya penjarahan AS dan sekutunya.
Caracas bersahabat kuat dengan Rusia, Iran, dan China, tiga kekuatan baru yang jadi penyeimbang hegemoni AS dan barat.
Bahkan di tengah embargo dan aneka sanksi yang diterimanya, Iran mengirimkan kapal-kapal tanker minyaknya, memasok Venezuela yang kesulitan mengolah kekayaannya sendiri.
Sanksi dan blokade AS membuat Venezuela tidak mampu mengelola kilang minyaknya secara mandiri, karena keterbatasan peralatan dan suku cadang.
Ekonomi Venezuela merosot ke titik sangat rendah akibat embargo Washington. Nilai mata uang Bolivar terjungkir sampai nyaris tidak ada harganya akibat inflasi parah.
Tapi Nicholas Maduro dan Venezuela tetap bertahan, kelompok oposisi yang didukung AS dan barat gagal mencapai tujuan mendongkel kelompok sayap kiri.
Lantas apa upaya terbaru AS, yang rupanya tetap mengincar Venezuela di tengah krisis minyak dunia akibat konflik di Timur Tengah dan Ukraina?
AS memang tidak terlampau terdampak oleh krisis minyak, seperti yang dialami negara dunia ketiga dan Eropa.
AS masih bisa mendapatkan minyak dari sumur-sumur di Irak dan Qatar. Termasuk sumur-sumur minyak di Suriah utara yang disedotnya secara ilegal.
Enam bulan lalu, tingginya harga minyak di Amerika di tengah sanksi barat terhadap minyak dan gas Rusia membuat pemerintahan Joe Biden berebut mendapatkan lebih banyak pasokan.
Kekuasaan supernya bisa mengatur dari mana pasokan minyak itu datang. Bahkan ia bisa mengambil untung dengan menjualnya kembali ke negara-negara Eropa.
Washington memang tidak bisa mempengaruhi Rusia dan OPEC yang dipimpin Saudi. Tapi mereka bisa menambah atau mengurangi pasokan untuk mengurangi dampak politik domestiknya.
Gedung Putih mempertimbangkan kemungkinan yang bisa mereka ambil. Di sinilah Venezuela menemukan konteksnya.
Washington menawarkan kesepakatan baru dengan Venezuela untuk meringankan beban Amerika soal stok minyak.
AS juga berusaha meredam Venezuela yang semakin mesra dengan Tiongkok dan Rusia di halaman belakang Washington.
Gedung Putih juga ingin memitigasi mengalirnya migran dari Venezuela ke AS sebagai akibat dari banyaknya warga negara tersebut ingin keluar dari kesulitan ekonomi.
Jadi Washington beralih ke Presiden Venezuela yang sama, Nicolas Maduro. Orang yang tempo hari dilabel sebagai tokoh utama narkoterorisme.
Maduro adalah orang yang sama yang didelegitimasi oleh AS selama bertahun-tahun. Washington mempromosikan Juan Guaido, tokoh oposisi Venezuela sebagai Presiden Venezuela yang sah.
Nicolas Maduro juga dibanderol $15 juta kepada siapa saja yang bisa memberikan jalan untuk menangkap dan menghukum tokoh ini.
Pembalikan sikap drastis ini sangat khas Washington. Mereka berpikir pragamatis belaka. Sepanjang menguntungkan, sebrutal apapun rekam jejak musuh akan dijadikan teman.
Langkah kooperatif Washington dimulai November 2022 saat raksasa migas Chevron, mendapatkan izin untuk memompa kembali minyak Venezuela.
Ini terjadi selang sebulan setelah pengabaian sanksi atas Venezuela. AS berjanji membuka blokir sebagian dana penjualan minyak Caracas yang disita pemerintah AS.
Imbal baliknya, AS mengizinkan raksasa minyak negara Venezuela, Petroleos de Venezuela (PDVSA) mengekspor minyaknya hanya ke pasar AS.
Pembayaran dilakukan anak perusahaan PDVSA di Amerika, Citgo, yang sebelumnya menyita miliaran pendapatan minyak Venezuela yang ada di bank AS.
Sebagian dari dana yang disita itu telah digunakan untuk mensponsori gerakan Juan Guaido, boneka politik model pergantian rezim ala Washington.
Lalu di Pemilu 2024, Washington kembali mensponsori Edmundo Gonzales, tokoh oposisi Venezuela yang ternyata gagal mengalahkan Nicolas Maduro.
Kini, Gedung Putih kembali memulai petualangan barunya, melanjutkan operasi pendongkelan rezim dunia ketiga, yang dianggapnya tidak bisa diatur atau diajak kompromi.
Menyita pesawat yang biasa digunakan Presiden Venezuela Nicolas Maduro adalah tiupan peluit tanda dilanjutkannya politik hegemonik Washington di Amerika Selatan.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)