News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Global Views

Israel Gercep Masuk Suriah Setelah Bashar al-Assad Terjungkal 

Penulis: Setya Krisna Sumarga
Editor: Yudie Thirzano
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

*Oleh Setya Krisna Sumarga

TRIBUNNEWS.COM - Bashar al-Assad telah jatuh dari kekuasaannya pada Minggu 8 Desember 2024.

Ia dan keluarganya pergi meninggalkan bangsa dan negara yang selama 24 tahun dipimpinnya. 

Belum diketahui ke mana Bashar al-Assad dan keluarga melabuhkan tujuannya. Ada spekulasi menyebutkan ia diterbangkan ke wilayah Rusia.  

Bagi Bashar al-Assad, sebenarnya tak hanya 24 tahun ia ada di puncak kekuasaan Suriah. Ia telah ikut merasakan kehidupan Tingkat tinggi karena ia putra Hafez al-Assad, pemimpin Suriah sejak tahun 1971.

Hafez al-Assad bukan tokoh sembarangan sebelumnya. Ia memimpin pertempuran melawan Israel di Dataran Tinggi Golan, namun kalah dalam Perang Enam Hari 1967. 

Kini Damaskus dan kota-kota besar lain di Suriah telah jatuh ke tangan kelompok militant bersenjata dari Idlib. 

Ada kelompok bersenjata terbesar yang memimpin pendongkelan Bashar al-Assad, yaitu Hayat Tahrir al-Sham yang dipimpin Mohammad al-Julani.

Di dalam kelompok ini terdapat berbagai faksi militan lain, termasuk kelompok bersenjata Uzbekistan, Tajikistan, Chechnya, Uyghur atau Turkistan, dan Free Syrian Army atau FSA.

Sebelum memimpin Hayat Tahrir al-Sham, Julani ata Joulani dikenal sebagai pentolan Jabhat al-Nusra atau Front al-Nusra. 

Pemerintah Washington pernah memasukkan Mohammad al-Joulani dalam daftar teroris jaringan Al Qaeda Timur Tengah.

Kepalanya dibanderol 10 juta dolar Amerika. Ini terjadi saat Suriah dikoyak perang ketika Jabhat al-Nusra melancarkan serangan guna mendongkel Bashar al-Assad dari Damaskus.

Pada saat bersamaan, ISIS menggelar kampanye agresif mendirikan kekhalifahan Islam yang berpusat di Kota Raqqa.
Atas bantuan dan dukungan Rusia, Iran, dan Hizbullah Lebanon, Bashar al-Assad berhasil meredam perlawanan Jabhat al-Nusra dan kawan-kawan. Kelompok ini dilokalisir ke Provinsi Idlib.  

Kelompok ISIS juga perlahan dihancurkan, bersamaan kampanye kelompok bersenjata Kurdistan yang didukung Amerika Serikat.
Pertanyaan kita sekarang, mengapa Bashar al-Assad kemudian bisa begitu mudah dijatuhkan? Ada apa dan kemana Rusia serta Iran? 

Kita akan mengulas topik ini dimulai dari Iran.

Kantor berita FARS di Iran merilis sebuah artikel yang menjelaskan secara ringkas apa yang terjadi di balik kejatuhan Bashar al-Assad.

Artikel itu menerangkan mengapa Iran tidak mengirimkan bala bantuan yang signifikan, atau menerjunkan pasukan khusus Garda Republik Islam Iran ke Suriah di saat krisis ini.

Penjelasan itu dimulai dari situasi yang melatarbelakangi mengapa Iran selama beberapa tahun terakhir mengintensifkan kehadirannya di Suriah. 

Ketika kelompok ISIS merajalela di Irak dan Suriah, dan Damaskus juga menghadapi gempuran kelompok bersenjata Sunni, Bashar al-Assad meminta bantuan Iran.

Teheran merespon secara serius permintaan itu, lalu menerjunkan kekuatan signifikan ke Suriah, baik berupa personil maupun persenjataan.

Ketika perang mulai mereda dan tujuan strategis Suriah telah dicapai, terjadi semacam perubahan genetis dari kelompok-kelompok militan yang menentang Damaskus.

Kelompok di Idlib mulai menggunakan jalur perjuangan diplomatic, dan mengurangi cara-cara kekerasan yang tadinya mengancam kehidupan warga sipil Suriah.

Perubahan taktik ini turut mempengaruhi rakyat Suriah, yang tadinya mendukung penuh perang pasukan Damaskus memerangi kelompok-kelompok teroris. 

Masyarakat mulai berubah pikiran, dan enggan membantu pasukan Suriah yang masih berusaha mematahkan perlawanan kelompok-kelompok militant di Idlib.

Di sisi lain, juga terjadi perubahan perlahan di tubuh militer Suriah. Ada penurunan motivasi untuk bertempur karena sejumlah alasan.

Di antaranya karena alasan religious dan situasi ekonomi yang dirasa tidak pernah membaik sejak perang mereda. 

Kemerosotan ekonomi itu juga membuat terjadi kesulitan anggaran di tubuh militer Suriah. Peralatan tempur semakin uzur dan tidak bisa lagi seratus persen berperang.

Tetapi hal paling dasar dan menentukan adalah perubahan dalam diri Bashar al-Assad. Hal ini tampak saat Bashar al-Assad bertemeu Imam Ali Khamenei pada 10 Juni 2024. 

Saat itu, Khamenei memberi peringatan penting dan sangat mendasar. Peringatan itu disampaikan lagi sebelum pecah pertempuran besar antara Israel dan Hizbullah Lebanon.

Khamenei memberitahu Bashar al-Assad tentang pergerakan dan semakin menguatnya kelompok militan bersenjata di Suriah.
Bashar al-Assad diminta menyusun proposal kontijensi, tapi tampaknya peringatan itu tidak didengar Bashar al-Assad.

Menteri Luar Negeri Iran melakukan reli politik tingkat tinggi bersama Menteri Luar Negeri Turki, guna membuat terobosan untuk menyelamatkan Damaskus. 

Tapi Bashar al-Assad memilih strategi lain, yang agaknya terkait janji-janji kekuatan Arab, ketika ia hadir di KTT Liga Arab dan OKI di Riyadh, Arab Saudi bulan lalu.

Merasa sudah berusaha maksimal sampai kesempatan terakhir, Teheran akhirnya memutuskan untuk tidak mencampuri urusan Suriah dan tidak mengirim bala bantuan.

Pemimpin Suriah itu akhirnya jatuh tanpa bisa tertolong lagi, meski pejabat tinggi Iran berusaha terus menyelamatkannya hingga saat-saat terakhir.

Sekarang, Teheran masih mencermati apa yang akan terjadi di Suriah, dan bagaimana konstelasinya saat kekuasaan berpindah ke kelompok penentang  Bashar al-Assad.

Dilihat dari konflik sebelumnya, Iran adalah kekuatan yang paling dibenci dan dimusuhi, baik oleh kelompok militan Suriah yang ISIS maupun non-ISIS.

Situasi sama secara relatif akan dialami pasukan Rusia yang diterjunkan di Suriah. Mereka dibenci dan dimusuhi kelompok-kelompok ini sepanjang kehadirannya.

Meski kelompok Hayat Tahrir al-Sham dalam retorikanya ingin menjalin hubungan baik dengan Moskow, situasinya pasti menegangkan.
Moskow pada fase terakhir agaknya sudah membiarkan kejatuhan Bashar al-Assad.

Kemerosotan di semua sektor di kepemimpinan Bashar menyulitkan banyak hal.

Rusia tentu tidak ingin lebih Suriah daripada Bashar al-Assad, di saat mereka juga tengah berjuang melawan agresifitas NATO di Ukraina. 

Dalam perspektif lain, mengenai cepatnya kejatuhan Bashar al-Assad di Damaskus, sesungguhnya mulai bisa dibaca sejak Israel menewaskan Fuad Shukr, komandan militer Hizbullah Lebanon. 

Kematian Fuad Shukr itu menjadi tembakan salvo yang diikuti tumpasnya tokoh-tokoh penting Hizbullah, termasuk paling mengejutkan adalah tewasnya Sheikh Hassan Nasralah.

Penghancuran Distrik Dahiya secara masif oleh serangan udara Israel, perlahan meruntuhkan kemampuan organisasi ini baik sumber daya manusia, jaringan, dan kapabilitas tempurnya.

Ketika Hizbullah Lebanon menderita kerusakan parah, Israel menambahkan taktik penghancuran tiga jalur darat terpenting menghubungkan Suriah-Lebanon.

Penghancuran infrastruktur darat ini praktis memutus mata rantai dukungan Iran via Suriah. Strategi isolasi ini tampaknya sangat berhasil. 

Ditambah lagi, Israel dan Amerika terus melancarkan serangan udara ke target-target pangkalan logistik dan militer Iran di Suriah.
Ini adalah tahap akhir strategi kekuatan barat yang mendukung Israel, guna menciptakan situasi baru di kawasan ini, yang sekaligus memiliki target ganda. 

Jika Suriah bisa diguncang dan Bashar al-Assad jatuh, maka akan jauh lebih mudah melemahkan pengaruh kehadiran Rusia dan Iran di negara ini.

Apalagi Rusia masih mencurahkan energi dan konsentrasinya di Ukraina. Menguasai Suriah dengan demikian akan memutus jalur logistik Iran ke Lebanon.

Praktis, mengontrol Suriah di bawah kekuasaan kelompok militan proksi berbagai kekuatan asing, akan memberi angin segar bagi Israel.
Israel pun juga bergerak cepat menerobos jauh masuk wilayah Suriah di Dataran Tinggi Golan, yaitu menguasai Gunung Hermon, dan menciptakan zona penyangga yang luas.

Pos-pos militer Suriah di wilayah perbatasan dengan Israel itu telah ditinggalkan para prajuritnya sejak mendengar kabar Damaskus jatuh.

Gerak maju pasukan Israel ini sekaligus menyapu titik-titik penempatan sistem pertahanan udara, artileri, roket, tank dan kendaraan tempur lain yang mengarah ke wilayah Israel.

Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu langsung mengunjungi Dataran Tinggi Golan, dan menyaksikan hamparan luas pegunungan Suriah yang strategis.

Di Damaskus, serangan udara Israel menyasar target-target vital, seperti depot militer, kantor imigrasi, dan paling penting Pangkalan Militer Mezzeh di pinggiran ibu kota. 

Video yang beredar di media sosial memperlihatkan penghancuran total pangkalan militer terpenting Suriah ini.
Gerakan ofensif besar-besaran Israel ini menunjukan Tel Aviv benar-benar memanfaatkan momentum kejatuhan Bashar al-Assad, untuk menghapuskan ancaman paling signifikan dari Suriah.

Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel Jenderal Herzi Halevi menyatakan, mereka sementara waktu memindahkan pertempuran dari Gaza ke perbatasan Suriah. 

“Mulai malam ini, kami memindahkan pertempuran utama ke Suriah. Kami akan memulai perang di front Suriah dan takkan membiarkan siapapun menjangkau perbatasan kita,” kata Herzi Halevi.

Lalu bagaimana posisi Turki dan Presiden Tayyip Erdogan? Jelas mereka berkontribusi signifikan atas kejatuhan Bashar al-Assad.
Serangan mematikan dari Idlib ke Aleppo dan seterusnya, dirancang secara matang dan cermat oleh intelijen militer Turki.

Erdogan sekali lagi membuktikan dirinya adalah serigala ulung, pemain ganda yang benar-benar bisa diandalkan Israel.
Sukses operasi ini berarti memberi jalan lempang bagi Turki untuk memperluas teritorinya di Suriah, sebagai cara mereka mengawasi kelompok Kurdistan. 

Kini, Mohammad al-Julani, pemimpin Hayat Tahrir al-Sham yang dianggap pemimpin de facto Suriah saat ini, telah tiba di Damaskus dan mengunjungi komplek Masjid Umayyad yang sangat bersejarah.

Ini adalah bangunan simbol penting kejayaan dinasti Umayyad di masa lalu. Selama ribuan tahun, masjid ini bertahan dan menjadi masjid tertua dan terbesar di dunia selama berabad-abad.

Masjid ini dibangun Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik pada tahun 705–715 Masehi. Arsitektur Masjid Umayyah menginspirasi pembangunan masjid-masjid di dunia setelahnya.

Di komplek masjid ini dimakamkan kepala Nabi Yahya atau Yohanes Pembaptis dan makam kepala Husain bin Ali. 
Kunjungan Julani mungkin memberi simbol penaklukan Damaskus, sebagaimana itu terjadi pada tahun 634 Maehi sekaligus menandai kelahiran kekhalifahan Umar bin Khattab.

Umar bin Khattab menjadi Khalifah Rasyidin kedua, menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq yang meninggal dunia. 
Umar adalah khalifah pertama yang menyandang gelar Amirul Mukminin, gelar yang kemudian menjadi standar para khalifah setelahnya.

Inilah Suriah terkini, di mana kepemimpinan baru datang menyudahi rezim Baath, sekaligus member jalan Israel mencengkeram kuat tanah Levant. (*Setya Krisna Sumarga, Editor Senior Tribun Network)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini