Oleh: Setya Krisna Sumarga*
TRIBUNNEWS.COM - Damaskus telah jatuh Minggu 8 Desember 2024, Istana dikuasai pemberontak, dan Presiden Suriah Bashar Al-Assad dikabarkan terbang ke suatu tempat yang belum diberitahukan tujuannya.
Rentetan tembakan senapan serbu dilepaskan para petempur Hayat Tahrir Sham atau HTS, yang mulai membanjiri komplek Istana Kepresidenan Damaskus yang luas.
HTS ini dulunya bernama Jabhat al Nusra atau Front Al Nusra. Jabhat Al Nusra pernah dimasukkan daftar organisasi yang memiliki jaringan dengan kelompok Al Qaeda yang didirikan Osama bin Laden.
Baca juga: Damaskus Memanas, Gedung Radio dan Saluran TV Pemerintah Suriah Disabotase Pemberontak
Kejatuhan rezim Baath terakhir di Timur Tengah ini memuncaki serangan kilat kelompok militan bersenjata dari Idlib yang didukung Turki, Israel, dan kekuatan barat seperti Ukraina, Amerika, dan Inggris.
Serangan besar kelompok proksi asing ini dimulai 27 November 2024, tepat saat gencatan senjata Israel-Lebanon mulai diberlakukan.
Mereka menyapu pertahanan pasukan Suriah yang didukung Rusia di jalan raya M5 yang memisahkan Provinsi Idlib dan Provinsi Aleppo.
Dalam temo dua hari, kelompok bersenjata yang Sebagian pernah jadi jaringan Al Qaeda itu mematahkan pasukan Suriah dan langsung menduduki kota kuno Aleppo.
Dari Aleppo, nyaris tanpa bisa dibendung, kelompok HTS dan Free Syrian Army yang dibekingi Turki menerjang ke Kota Hama, lalu Homs, sebelum memasuki Damaskus.
Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham, Abu Mohammed al-Julani, mengumumkan Damaskus telah mereka kuasai.
Presiden Bashar Al-Assad disebutnya telah meninggalkan negara itu, dan semua lembaga negara akan tetap berada di bawah kendali Perdana Menteri Suriah Mohammad Ghazi al-Jalali.
Dalam pernyataannya yang dikutip Al Jazeera dan Al Arabiya, Ghazi al-Jalali menyatakan kesiapannya bekerja sama dengan pemerintah mana pun yang dipilih warga Suriah.
"Kami siap bekerja sama dengan pemerintah mana pun yang dipilih warga Suriah," kata Ghazi al-Jalali yang berada di rumahnya saat militan bersenjata memasuki Damaskus.
Apa yang sesunguhnya sedang menimpa Suriah? Mengapa kelompok pemberontak begitu cepat meruntuhkan rezim Bashar Al-Assad? Siapa paling diuntungkan secara geopolitik atas perkembangan ini?
Kejatuhan Damaskus dan Bashar al-Assad serta goncangnya rezim Baathis Suriah sangat mengejutkan bagi sebagian kalangan.
Kekalahannya begitu kilat, tidak terduga, dan tidak terbayangkan akan terjadi hanya dalam tempo dua pekan sejak kelompok HTS dan FSA memulai operasi ke Aleppo.
Runtuhnya pertahanan militer Suriah di tangan kelompok bersenjata dari Idlib memperlihatkan realitas betapa lemahnya pengaruh dan dukungan Iran dan Rusia ke negara ini.
Menurunnya kemampuan kedua negara ini memberi dukungan dan perlindungan militer ke Suriah terjadi seiring pecahnya perang di Ukraina dan hancurnya Hamas serta Hizbullah Lebanon.
Baca juga: Suriah Usai Rezim al-Assad Tumbang: Kelompok Sunni Tahrir al-Sham Jadi Penguasa dan Ancaman ISIS
Pos-pos serta instalasi militer Iran di Suriah yang selama ini jadi pijakan menuju Lebanon dan Jalur Gaza, juga berantakan setelah berulangkali mendapatkan serangan penghancur dari Israel.
Rusia pun mengurangi kehadiran armada militernya di Pangkalan Laut Tartus dan Pangkalan Udara Hmeimim, karena dikerahkan ke Ukraina.
Sementara pasukan Suriah atau yang kerap disebut Pasukan Arab Suriah, mengalami kemerosotan kemampuan akibat perang melelahkan selama bertahun-tahun.
Perang yang terjadi di Suriah telah menguras kemampuan ekonomi, merusak mental tempur, dan melemahkan spirit militer di semua lini.
Di tangan Presiden Bashar Al-Assad, Suriah menderita kerugian luar biasa ketika Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS memulai kampanye kejamnya dari Mosul Irak.
Kelompok ini menyapu daratan Irak utara dan memasuki Suriah lewat Irak maupun Turki. Mereka mendirikan ibu kota kekhalifahan ISIS di Kota Raqqa Suriah Utara.
Di saat bersamaan, bermunculan kelompok bersenjata yang ingin mendongkel Bashar Al-Assad. Ini kelompok proksi yang didanai Turki, Saudi, Emirat Arab, dan didukung kekuatan barat, termasuk Israel.
Bashar Assad dianggap bertindak kejam terhadap kelompok-kelompok Wahabi Sunni, dan terlampau pro-Iran dan memberi dukungan kuat untuk Hizbullah dan Hamas.
Baca juga: Misteri Hilangnya Pesawat Assad dan Reaksi Masyarakat Suriah
Ketika ancaman ISIS dan kelompok pemberontak non-ISIS memuncak, Bashar Assad meminta bantuan Rusia dan Iran.
Perlahan pasukan Damaskus menahan laju ofensis ISIS dan kelompok non-ISIS, sebelum akhirnya berhasil memukul mundur mereka.
Kelompok bersenjata non-ISIS dilokalisir ke Provinsi Idlib, sementara kekuatan ISIS dihancurkan oleh pasukan Suriah maupun kelompok Kurdi yang didukung Amerika.
Berbarengan waktunya, kelompok ISIS di Irak dihancurkan oleh pasukan Irak yang dibantu paramiliter Syiah Irak dan pasukan elite Al Quds Garda Republik Islam Iran.
Selama lima tahun terakhir, kelompok non-ISIS yang terdiri dari banyak faksi bertahan di Idlib di bawah kerangka gencatan senjata yang dimediasi Turki dan Rusia.
Tukar menukar serangan memang terjadi sporadis antara pasukan Suriah dan kelompok ini meski pasukan Turki menjadi pengawas di Idlib.
Kemudian pecah perang besar Israel-Hamas di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, dan Hizbullah Lebanon turut terlibat pertempuran dengan Israel di Lebanon Selatan.
Kelompok-kelompok bersenjata di Provinsi Idlib ini berdiam diri. Mereka tidak membantu atau membela warga Palestina dan Lebanon yang digempur habis-habisan oleh Israel.
Hingga momentum itu tiba pada 27 November 2024. Seperti dirancang secara cermat, saat Hamas dan Hizbullah melemah, dan perang di Lebanon perlahan mereda, kelompok Idlib membat gempar.
Mulai hari ini situasi dan posisi Suriah di Timur Tengah mulai berubah. Jatuhnya Damaskus dan Bashar Assad membuat geopolitik kawasan ini perlahan akan semakin menguntungkan Israel.
Bahkan mungkin pada saatnya ancaman keamanan terhadap Israel akan mencapai titik nol atau tidak ada sama sekali.
Jaringan Iran mungkin akan diputus, Rusia akan meninggalkan Suriah, dan seperti fakta yang sudah banyak diketahui umum, kelompok yang berkuasa akan kooperatif terhadap Israel.
Rezim baru yang disokong Turki dan akan memimpin Suriah, berpotensi menghilangkan segala ancaman yang selama ini paling dikhawatirkan Israel.
Jika peta politiknya seperti ini, kejatuhan Bashar Al-Assad memang memberi perubahan signifikan atas geopolitik Timur Tengah, dan ini sangat tidak terduga.
Kekuatan yang merancang secara cermat tsunami politik di Suriah ini jelas sangat kuat, jeli, dan memiliki kalkulasi yang sangat akurat terhadap momentum.
Tiga kekuatan intelijen terkemuka, CIA, MI6, dan Mossad mempunyai kontribusi besar atas kisah sukses pendongkelan rezim di Suriah ini.
Baca juga: Sergey Lavrov Ungkap Keterlibatan AS dan Inggris di Suriah
Sementara posisi Turki di bawah Presiden Tayyip Erdogan, seperti biasa, terampil memainkan permainan ganda.
Secara retoris, Ankara mendukung Palestina yang bebas genosida dan berdaulat. Dalam praktiknya, Turki mendukung dan mendanai kelompok jihadis di Idlib Suriah.
Mereka turut memfasilitasi pelatihan taktik perang drone oleh intelijen Ukraina yang mendapatkan pendanaan Qatar.
Dalam konteks perjuangan Palestina yang dipersekusi secara kejam oleh Israel, jika kelompok militan Idlib adalah pejuang Islam, mereka harusnya berbaris masuk ke Gaza atau Lebanon, membela Palestina.
Tapi itu tidak terjadi. Sebaliknya, ada banyak bukti kelompok-kelompok ini justru memperoleh fasilitas pengobatan oleh Israel ketika jadi korban pertempuran melawan pasukan Suriah.
Sementara rezim Bashar Assad yang mereka musuhi sampai tulang sumsum, faktanya selama bertahun-tahun telah menampung ribuan pengungsi Palestina.
Terhadap Lebanon, pemerintah Suriah tidak pernah goyah memberikan dukungan. Ini adalah ikatan historis selama ribuan tahun antara Damaskus dan Beirut.
Apakah pandangan dan penilaian ini subjeektif? Bisa jadi ada faktor subjektif, namun realitas objektif Asia Barat memperlihatkan konflik di wilayah ini tidak bersifat sederhana.
Pertikaiannya merupakan campuran kompleks dari vektor nasional, sektarian, suku, dan agama. Perangnya bisa tidak berkesudahan, tapi kadang dapat dikendalikan sampai batas tertentu.
Kehadiran Rusia di Suriah mungkin dalam batas tertentu mampu melindungi Sejarah politik Suriah, dengan membebaskan kota-kota terpenting dari penguasaan kelompok militant salafis jihadis.
Tapi hari ini fakta berbicara lain. Rusia tidak lagi mampu melindungi Suriah, karena faktor perang Ukraina yang menyita energi dan konsentrasi mereka.
Gencatan senjata di Idlib versi Sochi yang difasilitasi Iran, Rusia, dan Turki yang setengah hati, tidak pernah bisa menyelesaikan masalah.
Pada akhirnya, kekuatan bersenjata yang dikendalikan di Idlib, dilepaskan dengan kekuatan penuh, didukung kekuatan besar Arab, Turki, Israel, dan tentu saja barat.
Rusia sepenuhnya fokus pada masalah Ukraina. Hizbullah sangat menderita akibat pemboman dan pembunuhan para pemimpin utamanya.
Sedangkan Teheran sepenuhnya berkonsentrasi pada cara menghadapi kedatangan rezim Donald Trump yang pernah bersikap sangat keras terhadap Iran.
Pepe Escobar, seorang analis geopolitik menulis di Sputniknews, sejarah selalu memberi pelajaran pada kita. Suriah sekarang adalah Anabasis Asia Barat.
Xenophon, seorang prajurit dan penulis masa kuno, memberi tahu kita bagaimana, pada abad ke-4 Sebelum Masehi, sebuah ekspedisi atau anabasis dalam bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari 10.000 tentara bayaran Yunani dikerahkan oleh Cyrus Muda untuk melawan saudaranya, Artaxerxes II, Raja Persia, dari Armenia ke Laut Hitam.
Ekspedisi itu gagal total, dan perjalanan pulang yang menyakitkan itu tidak ada habisnya.
Dua ribu empat ratus tahun kemudian, kita melihat pemerintah, tentara, dan tentara bayaran masih terjun ke dalam perang di Asia Barat yang semakin sulit.
Suriah kini lelah, terkuras, dan militernya terlena oleh situasi perang yang telah lama terhenti sejak 2020.
Jatuhnya Damaskus dan terjungkalnya Bashar Al-Assad adalah sebuah keniscayaan, dan sesuatu yang tidak bisa dibendung lagi.
Tidak ada yang dapat mengalahkan hydra hegemonik yang kejam, hanya dengan kekuatan bunga, dan Israel kini menjadi pihak yang paling berbunga-bunga atas perubahan rezim di Suriah.
Satu ancaman paling mematikan yang ditakuti selama berpuluh-puluh tahun, telah dijinakkan. (Editor Senior Tribun Network, Setya Krisna Sumarga)