Oleh: Petrus Selestinus SH
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara
MAJELIS Permusyawaratan Rakyat atau MPR adalah pemegang kedaulatan rakyat sekaligus pengemban fungsi representasi rakyat.
MPR bukanlah lembaga tukang stempel hasil Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa Pilpres.
Melainkan MPR memiliki kewenangan untuk menyerap aspirasi rakyat guna memberikan penilaian akhir terhadap seluruh tahapan dalam proses demokrasi yang sedang berjalan terkait pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada 20 Oktober 2024, apakah masih layak dan beralasan hukum untuk dilantik atau tidak.
Para advokat yang tergabung dalam TPDI dan Perekat Nusantara yakni penulis, Erick S Paat, Carrel Ticualu, Robert B Keytimu, Jemmy Mokolensang, Ricky D Moningka, Paskalis Pieter, dan Davianus Hartoni Edy meminta MPR mempertimbangkan pembatalan pelantikan Gibran sebagai Wapres RI.
Ihwal apakah presiden/wapres terpilih layak dilantik atau tidak sangat beralasan karena jeda waktu 8 bulan pasca-Pilpres 14 Februari 2024 hingga pelantikan pada 20 Oktober 2024 dimaksudkan oleh para pembentuk undang-undang (UU) agar MPR memiliki waktu yang cukup untuk memantau dan mencermati hal-hal buruk apa yang bakal terjadi bahkan melekat dalam diri presiden/wapres terpilih, namun lolos dari proses seleksi lewat pemilu, pantauan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan proses pemeriksaan MK, terlebih karena MK memiliki kesempatan dan wewenang yang sangat terbatas dalam pemeriksaan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Hal demikian beralasan untuk dilakukan karena bisa saja sejak proses pemilu dan sengketa Pilpres diputus MK, hingga menjelang pelantikan terjadi peristiwa dan terdapat fakta hukum yang tersembunyi (kasus akun Fufufafa, misalnya) atau baru terjadi kemudian, sehingga lolos dari kecermatan instrumen politik dan hukum yang tersedia (seperti KPU, Badan Pengawas Pemilu/Bawaslu, MK dan Pengadilan Tata Usaha Negara/PTUN) yang dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah diantisipasi kemungkinan seorang presiden/wapres terpilih "tidak dilantik" melalui ketentuan Pasal 427 jo Pasal 169 huruf e dan jo UU Pemilu.
MPR harus jernih dan objektif melihat realitas dimana hukum sudah dirusak dan tidak lagi menjadi panglima, terdapat fakta yang "notoire feiten" (sudah diketahui umum) bahwa ketika MK bersidang dalam "judicial review" atau uji materi Perkara No 90/PUU-XXI/2023 hingga perkara PHPU No 1 dan 2 di MK, Hakim-hakim Konstitusi berada dalam keadaan tidak merdeka atau tidak bebas, akibat pengaruh kekuasan eksekutif lewat dinasti poitik di MK, suatu kondisi yang sangat paradoks dengan jaminan UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka.
Setelah mencermati dan menganalisis sejumlah peristiwa dan fakta hukum yang ditarik mulai dari proses dan tahapan persidangan Perkara No 90/2023, Putusan MKMK No 2, 3, 4 dan 5/MKMK/L/11/2023 tertanggal 7 November 2023 dan persidangan Perkara PHPU No 1 dan 2 PHPU.PRES-XXII/2024 di MK serta peristiwa dan fakta hukum lain yang muncul kemudian (Fufufafa), kami berpendapat bahwa proses pencawapresan Gibran dalam Pilpres 2024 melanggar prinsip konstitusi, hukum dan demokrasi, sehingga telah berimplikasi pada tidak sah dan batalnya pencawapresan putra sulung Presiden Jokowi itu.
Oleh karena itu, TPDI dan Perekat Nusantara minta MPR mendiskualifikasi dan tidak melantik Gibran sebagai Wapres RI periode 2024-2029 pada Sidang MPR tanggal 20 Oktober 2024 nanti berdasarkan beberapa peristiwa dan fakta-fakta hukum yang telah, sedang dan akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan.
Ada 7 peristiwa dan fakta hukum yang dapat dijadikan alasan MPR untuk mendiskualifikasi dan tidak melantik Gibran.
Pertama, selama proses hingga putusan Perkara No 90/2023 menjadi kontroversi sehingga publik menjuluki MK sebagai Mahkamah Keluarga, karena dengan putusan tersebut terbukti Hakim-hakim Konstitusi memiliki "conflict of interest" (konflik kepentingan) dan sejumlah pelanggaran lain yang diungkap sendiri oleh Hakim Konstitusi dalam "dissenting opinion" (pendapat berbeda) Putusan MK No 90/2023.
Bahkan, kami pada 12 Oktober 2023 atau 4 hari sebelum putusan Perkara No 90/2023 dibacakan (16 Oktober 2023), sudah mengirim somasi atau surat peringatan kepada 9 Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili Perkara No 90/2023 agar mengundurkan diri dari persidangan, karena mereka memiliki "conflict of interest", sebagai suatu perilaku yang dilarang dan diancam dengan sanksi administrasi dan/atau pidana dan Putusan Hakim Konstitusi dinyatakan tidak sah oleh Pasal 17 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Anwar Usman Diberhentikan
Namun faktanya, somasi itu tidak digubris demi mengejar batas waktu pencalonan Gibran.
Dengan demikian, Putusan MK No 90/2023 merupakan peristiwa dan fakta hukum yang sangat penting dan menentukan bagi keabsahan pencawapresan Gibran, karena Putusan MK dimaksud tidak hanya berimplikasi hukum pada Hakim Konstitusi Anwar Usman diberhentikan dari jabatan Ketua MK dan 8 Hakim Konstitusi lainnya diberi sanksi administratif berupa teguran tertulis dan teguran lisan secara kolektif dalam Putusan MKMK tanggal 7 November 2023, akan tetapi juga berimplikasi hukum pada tidak sahnya Putusan MK No 90/2023.
Implikasi hukum lainnya yang paling fatal adalah Perkara No 90/2023 disidangkan kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (6) dan (7) UU No 48 Tahun 2009, namun sanksi pidana saat ini masih dalam proses telaah KPK dalam perkara dugaan terjadi tindak pidana kolusi dan nepotisme, sementara akibat hukum berupa tidak sahnya putusan MK saat ini diabaikan oleh MK sendiri.
Kedua, pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim oleh 9 Hakim Konstitusi ketika menyidangkan uji materi Pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap UUD 1945 dalam perkara No 90/2023, telah dilaporkan oleh masyarakat termasuk TPDI dan Perekat Nusantara kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Ini membuktikan bahwa Hakim Konstitusi telah melanggar Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana terbukti dari 9 Hakim Konstitusi yang menyidangkan Perkara No 90/2023, diberi sanksi administrasi, di mana Anwar Usman diberhentikan dari jabatan Ketua MK, sedangkan Hakim Konstitusi lainnya yaitu Saldi Isra dkk diberi sanksi teguran tertulis dan teguran lisan secara kolektif, karena terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim.
Itu merupakan peristiwa dan fakta hukum yang ikut memperkuat dalil bahwa pencawapresan Gibran cacat hukum dan tidak sah.
Ketiga, pemberhentian Anwar Usman dan terpilihnya Suhartoyo sebagai Ketua MK baru merupakan peristiwa dan fakta hukum yang membuktikan bahwa eksekusi atau pelaksanaan Putusan MKMK No 2, 3, 4 dan 5/MKMK/L/11/2023 berjalan dengan baik, antara lain terjadi pemilihan Ketua MK baru Suhartoyo menggantikan Anwar Usman, dan beberapa larangan lainnya bagi adik ipar Jokowi itu untuk tidak ikut dalam persidangan sengketa-sengketa tertentu termasuk sengketa Pilpres 2024 dan beberapa sengketa Pilkada, sebagai sanksi administratif.
Dengan demikian, pergantian Ketua MK merupakan peristiwa dan fakta hukum yang sangat penting dan menentukan bahwa MK berada dalam cengkeraman dinasti politik Presiden Jokowi ketika memutus Perkara No 90/2023, sehingga secara hukum dan moral berimplikasi pada Putusan MK dimaksud tidak sah dan pencawapresan Gibran juga tidak sah dan harus dibatalkan.
Sesuai ketentuan BAB II tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman UU No 48 Tahun 2009, khususnya Pasal 17 ayat (1) sampai (7) yang mengatur tentang hak ingkar.
Keempat, keberadaan Anwar Usman sebagai Hakim Konstitusi pasca-Putusan MK No 90/2023 dan Putusan MKMK No 2/2023 merupakan peristiwa dan fakta hukum yang membuktikan bahwa berbagai upaya untuk melepaskan pengaruh dinasti politik di tubuh MK masih gagal dilakukan, sehingga ancaman terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka tak terhindarkan.
Kondisi demikian semakin memperkuat daya cengkeram kekuasaan eksekutif untuk mengintervensi dan membuat MK sebagai lembaga yudikatif yang kemerdekaan dan kemandiriannya dijamin UUD 1945 telah dilanggar oleh Presiden Jokowi dan Anwar Usman dalam semangat dinasti politik lintas lembaga tinggi negara dan perilaku nepotisme yang menyandera MK, sehingga dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman menjadi tidak merdeka dan tidak mandiri.
Bagian ini bisa dijadikan sebagai peristiwa dan fakta hukum untuk dijadikan alasan bagi MPR tidak melantik Gibran sebagai Wapres.
Kelima, Pasal 13 ayat (1) huruf q Peraturan KPU No 19 Tahun 2023 tentang persyaratan usia capres/cawapres minimal 40 tahun tetap berlaku pasca-Putusan MK No 90/2023 karena secara hukum KPU baru boleh mengubah PKPU manakala DPR telah melaksanakan Putusan MK No 90/2023, yaitu mengubah ketentuan batas umur capres/cawapres dalam perubahan UU Pemilu.
Karena itu pendaftaran Gibran di KPU kemudian dinyatakan diterima dan dinyatakan sebagai telah memenuhi syarat sebelum KPU mengubah PKPU, maka secara hukum pendafataran Gibran cacat hukum dan tidak sah.
Sikap KPU yang bertindak sebagai eksekutor putusan MK dengan mengirim surat kepada semua pimpinan partai politik peserta pemilu untuk melaksanakan dan mempedomani putusan MK dimaksud dalam Pilpres 2024 menjadi peristiwa dan fakta hukum yang sangat menarik untuk dicermati MPR, karena menurut UU No 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 10 menyatakan, "Materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi antara lain tindak lanjut atas putusan MK.'
Artinya, terkait putusan MK yang menyangkut uji materi UU terhadap UUD 1945, termasuk Perkara No 90/2023, sepenuhnya wewenang DPR untuk mengeksekusinya dengan mengatur lebih lanjut dalam perubahan UU Pemilu, bukan serta-merta menjadi wewenang KPU yang dilaksanakan tanpa merevisi PKPU yang mengatur usia minimum capres/cawapres 40 tahun.
Di sinilah letak pelanggaran hukum yang dilakukan KPU karena Putusan MK No 90/2023 belum dilaksanakan oleh DPR, namun oleh KPU tanpa menunggu sikap DPR serta-merta proaktif seperti mengejar setoran demi menggolkan Gibran menjadi cawapres.
Keenam, persidangan PHPU No 1 dan 2 PHPU.PRES-XXII/2024 di MK telah menempatkan posisi 8 Hakim Kostitusi dalam keadaan tidak merdeka, tersandera oleh putusannya sendiri.
Maka 8 Hakim Konstitusi terikat secara psikologis dan politik untuk tetap mempertahankan Putusan No 90/2023 yang disoal bahkan menjadi objek sengketa dalam Perkara PHPU No 1 dan 2 PHPU.PRES-XXII/2024 di MK, karenanya 8 Hakim Konstitusi menjadi tidak bebas dan seharusnya mundur dari persidangan, karena sudah menyangkut prinsip peradilan yang dilanggar, namun hal itu tidak dilaksanakan.
Ketujuh, unggahan akun Fufufafa telah menyeret nama Gibran yang adalah wapres terpilih, kini sudah menjadi bola liar dan berimplikasi memicu lahirnya krisis kepercayaan publik yang meluas, bukan saja terhadap Gibran, tetapi juga terhadap Presiden Jokowi yang sebentar lagi akan berakhir masa jabatannya.
Akun Fufufafa menjadi viral di medsos, karena disebut milik Gibran, dibiarkan menjadi bola liar oleh Polri, Menkominfo, dan Gibran sendiri, tanpa ada langkah penindakan dari segi Kamtibmas dan penegakan hukum. Padahal terdapat muatan penghinaan, penyebaran berita bohong yang menimbulkan rasa kebencian, aspek asusila dan runtuhnya kepercayaan publik terhadap MK, KPU, DPR dan Presiden yang semakin meluas. Publik kemudian meyakini pemilik akun Fufufafa adalah Gibran, kemudian muncul tuntutan agar mantan Walikota Solo itu tidak dilantik menjadi Wapres, karena narasi di akun Fufufafa itu bermuatan penghinaan/fitnah, kebencian, berita bohong dan berorientasi seksual yang tidak sehat pada si pemilik akun.
Publik telah memberikan penilaian dan gambaran nyata antara lain tentang orientasi seksual yang tidak normal pada diri si pemilik akun dan sejumlah narasi yang tidak sepatutnya ditujukan pada sejumlah tokoh publik termasuk Presiden terpilih Prabowo Subianto dan keluarganya serta sejumlah publik figur lain (artis).
Berdasarkan 7 peristiwa dan fakta hukum tersebut, TPDI dan Perekat Nusantara meminta MPR mempertimbangkan untuk mendiskualifikasi dan tidak melantik Gibran sebagai Wapres pendamping Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024 nanti sesuai dengan tugas, wewenang dan hak MPR yang dijamin konstitusi.