Oleh: Gede Sandra, Sarjana untuk Indonesia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di masa 10 tahun Pemerintahan Jokowi, aset BUMN bertumbuh dari Rp 4.577 triliun di tahun 2014 menjadi Rp 10.411 triliun di akhir tahun 2023.
Pertumbuhan aset BUMN paling cepat terjadi pada pemerintahan Jokowi periode pertama (di bawah Menteri Rini Sumarno), sebesar 16,3 persen per tahun.
Sementara pertumbuhan aset BUMN di periode kedua (di bawah Menteri Erick Tohir) hanya 5,1 persen pertahun. Cepatnya pertumbuhan aset BUMN periode pertama adalah akibat dari kebijakan revaluasi aset BUMN yang diusulkan oleh mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli pada tahun 2015.
Baca juga: Diikuti 352 UMKM, Telkom Melalui Rumah BUMN Telkom Gelar Nutrition Fact Guna Tingkatkan Daya Saing
Dalam hal utang, tercatat utang BUMN selama 10 tahun terakhir adalah sebesar Rp 959 triliun. Yang terbagi pada periode pertama sebesar Rp 125 triliun, dan periode kedua sebesar Rp 834 triliun- atau dengan kata lain sebagian besar (87 persen) utang BUMN periode Jokowi dibuat di periode kedua.
Besarnya utang BUMN pada periode kedua disebabkan oleh tingginya pertumbuhan utang BUMN pada periode kedua yang mencapai 8 persen. Sementara pertumbuhan utang periode pertama hanya 1,3 persen per tahun.
Baca juga: Wujud Sinergi Group BUMN, BRI Finance Sediakan Kendaraan Alokasi Jabatan Kepada PT Pertamina
Pertumbuhan utang yang cepat pada periode kedua juga diimbangi oleh pertumbuhan laba BUMN yang mencapai 12,7 persen pertahun. Sementara pertumbuhan laba BUMN pada periode pertama memang lebih lambat, hanya 6 persen pertahun. Selaras dengan tinggi pertumbuhan laba BUMN, secara agregat total setoran deviden BUMN pada periode kedua mencapai Rp 281,9 triliun. Sementara pada periode pertama, total setoran deviden BUMN adalah sebesar Rp 214 triliun (30 persen lebih rendah dari periode kedua).
Tapi ternyata peningkatan laba dan deviden pada periode kedua ini juga dibarengi dengan peningkatan penyetoran modal negara (PMN) oleh pemerintah ke BUMN. Secara total, periode kedua BUMN mendapatkan PMN sebesar Rp 445,6 triliun. Sementara periode pertama hanya mendapatkan PMN sebesar Rp 214 triliun (hanya separuhnya). Di sinilah masalahnya.
PMN pada periode kedua sampai meningkat dua kali lipat dari periode pertama, tapi setoran deviden ke Negara hanya naik 30 persen. Bila dikurangkan antara total setoran deviden dengan total PMN, periode pertama masih surplus sebesar Rp 71 triliun, sementara periode kedua defisit (minus) Rp 163 triliun!
Baca juga: Setuju dengan Usulan Pembubaran Kementerian BUMN, Pengamat: Kerap Dimanfaatkan untuk Politik
BUMN Abai pada Ketimpangan
Tanpa ada peran dari BUMN yang didukung oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah hingga analis, maka rakyat Indonesia tidak akan pernah melihat berbagai proyek-proyek infrastruktur dan transportasi publik yang menakjubkan seperti kereta cepat whoosh, LRT, MRT, dan jalan tol trans Jawa.
Kelihatan bagus dan bersinar, hanya bila diperhatikan lagi ternyata kesemua proyek ini sebenarnya lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah dan kelas atas. Selain karena harganya yang relatif mahal (seperti whoosh dan tol trans Jawa), jangkauan pembangunannya juga belum dapat mencakup kantung-kantung kelas masyarakat yang lebih bawah (seperti LRT dan MRT).
Kelas pekerja umumnya masih mengunakan moda yang lebih murah dan fleksibel, yaitu sepeda motor. Jadi pembangunan transportasi publik yang dimotori BUMN belum mempertimbangkan keadilan antar kelas masyarakat- cenderung lebih mendahulukan kelas menengah atas. Padahal kelas pekerja dan kelas bawah lainnya juga membutuhkan transportasi publik yang efisien demi meningkatkan taraf hidup mereka.
Ketidakadilan serupa juga terjadi dalam penyaluran kredit perbankan. Sampai Desember 2023, kredit UMKM dari seluruh perbankan nasional hanya sebesar 19 persen, sementara 81 persen mengalir ke korporasi-korporasi besar.
Angka ini saja sudah buruk, tapi ternyata total kredit UMKM tiga Bank BUMN terbesar (BRI, BNI, Mandiri) malah lebih buruk: hanya di 13,2 persen dari total kredit, jauh berada di bawah rata-rata nasional. Seharusnya perbankan BUMN ikut mengurangi ketimpangan kredit dengan memacu kredit UMKM lebih besar, bukannya memperburuk ketimpangan kredit yang terjadi.
Padahal, bila bank-bank BUMN sanggup mengubah struktur ketimpangan kredit ini, dengan memberikan lebih banyak alokasi kredit ke UMKM, maka mungkin tidak akan pernah terjadi fenomena merosotnya 9,5 juta kelas menengah menjadi miskin dan mungkin pertumbuhan ekonomi di akhir era Jokowi sudah di atas 8 persen per tahun.