Oleh Gede Sandra *)
Presiden Prabowo dalam forum G20 (18/11) mengkritisi terakumulasinya kekayaan Negara di tangan segelintir orang. Dengan sistem pajak yang berkeadilan, maka distribusi kekayaan di suatu Negara dapat lebih merata.
Kebijakan Pemerintah yang berencana menaikkan PPN dari 11 persen ke 12?n mengulang lagi tax Amnesty sangat jauh dari konsep pajak yang berkeadilan.
Baca juga: PPN 12 Persen Bakal Bebani Masyarakat, YLKI Minta Ditangguhkan
Berdasarkan data penerimaan perpajakan selama 10 tahun terakhir yang tercatat pada LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat), rencana Pemerintah untuk menaikkan tarif PPN dan mengulangi Tax
Amnesty ke jilid III harus dibatalkan karena:
1. Kenaikan tarif PPN tidak terbukti menaikkan penerimaan PPN.
Setelah tarif PPN dinaikkan dari 10% ke 11% kenaikan penerimaan PPN dari tahun 2022 ke tahun 2023 malah hanya sebesar Rp 60 triliun. Turun dari kenaikan PPN di era tarif PPN masih berlaku tarif lama 10%, seperti tahun 2021 ke 2022: Rp 130 triliun, 2020-2021: Rp 96 triliun, 2017-2018:
Rp 67,8 triliun.
Dan hanya sedikit lebih tinggi dari tahun 2016-2017: Rp 57 triliun. Fenomena ini pertanda bahwa kenaikan tarif PPN dari 10% ke 11% malah membuat rakyat mengurangi konsumsinya, sehingga konsisten dengan situasi saat ini di mana daya beli rakyat anjlok.
Maka dapat diproyeksikan, jika tariff PPN kembali naik dari 11% ke 12% yang mungkin terjadi malah penerimaan PPN akan semakin turun dan daya beli rakyat akan semakin anjlok.
2. Tax Amnesty jilid I dan II tidak terbukti meningkatkan rasio pajak (Tax Ratio)
Setelah dilakukan dua kali Tax Amnesty pada tahun 2016 dan 2022, rasio penerimaan pajak (tax atio) terhadap perekonomian (PDB) malah turun ke rata-rata 9,8%.
Sebelum dilakukan Tax Amnesty (tahun 2015 dan 2016), rasio pajak malah sudah di kisaran 11%. Artinya kebijakan pengampunan pajak tidak mencapai tujuannya, tidak terjadi peningkatan rasio pembayaran pajak.
Baca juga: Kenaikan Tarif PPN Jadi 12 Persen Bis Turunkan Konsumsi Domestik
Jangan sampai motif diberlakukannya Tax Amnesty berkali-kali ternyata hanyalah untuk menghapus dosa-dosa para pengemplang pajak pada periode sebelum diberlakukan Tax Amnesty.
Sederhananya, Tax Amesty I menghapus dosa pajak sebelum tahun 2016. Tax Amnesty II menghapus dosa pajak antara tahun 2016 sampai 2022. Dan jangan-jangan Tax Amnesty ke-III hanya bertujuan menghapus dosa-dosa pajak antara tahun 2022 hingga 2024. Pertanyaannya
pengusaha-pengusaha hitam siapa saja yang berkepentingan untuk menghapus dosanya di periode 2 tahun tersebut?
Tapi bagaimanapun pajak tetap harus dinaikkan, tetapi bukan dengan cara menaikkan PPN ataupun dengan Tax Amnesty jilid III yang sangat jelas akan mengurangi daya beli rakyat dan membebaskan orang-orang kaya dari kewajiban pajaknya. Demi terciptanya sistem perpajakan yang berkeadilan, diusulkan untuk mulai mengenakan pajak kekayaan dan pajak karbon.
1. Pajak Kekayaan
Negara harus memulai penerapan pajak kekayaan/wealth tax sebesar minimal 2%. Total kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes adalah sebesar Rp 4.078 triliun, bila pemerintah berhasil mengenakan pajak kekayaan sebesr 2% saja terhadap orang-orang kaya ini, maka akan terdapat tambahan penerimaan Negara sebesar Rp 81 triliun (CELIOS, 2024).
2. Pajak Karbon
Negara harus memulai penerapan pajak karbon sebesar minimal Rp100/kg CO2e. Total emisi
karbon di Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 729 juta ton CO2e. Bila setiap kg ditetapkan pajak karbon Rp 100, maka potensi tambahan penerimaan pajak akan mencapai Rp 71 triliun.
Total tambahan penerimaan Negara yang mungkin diperoleh setiap tahun dari pajak kekayaan dan pajak karbon adalah sebesar Rp 152 triliun.
*) Gede Sandra adalah anggota sarjana untuk Indonesia