Oleh: Lenna Maydianasari
Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Universitas Respati Yogyakarta
TRIBUNNEWS.COM - Upaya preventif penularan penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV), sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak pada saat kehamilan sangat penting dalam konteks kesehatan masyarakat di Indonesia. Mengapa demikian?
Pencegahan penularan HIV, sifilis, serta Hepatitis B dari ibu ke anak dapat mengurangi kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas). Bayi yang terinfeksi karena tertular dari ibunya akan mengalami berbagai masalah kesehatan yang serius.
Sebagai contoh, bayi yang terinfeksi sifilis pada masa kehamilan, dapat menyebabkan kelahiran prematur atau lahir dengan sifilis kongenital (bawaan) yang mengakibatkan kecacatan, kebutaan, bahkan terjadinya kematian.
Kondisi yang sama akan ditemukan jika bayi terinfeksi hepatitis B yang akan berkembang menjadi infeksi kronis sehingga resiko sirosis hati, kanker hati dan komplikasi jangka panjang lainnya akan meningkat.
Kita tidak bisa menghitung secara pasti berapa banyak biaya perawatan bagi bayi yang terinfeksi. Namun yang bisa kita pastikan adalah tidak semua orang tua memiliki kesanggupan untuk menanggung besarnya biaya perawatan dalam waktu yang lama.
Jadi, penularan penyakit dari ibu ke anak akan menambah beban kesehatan masyarakat maupun negara secara luas. Oleh karena itu, pencegahan penularan akan mengurangi secara signifikan beban tersebut dan yang paling penting adalah manfaat jangka panjang dari segi sosial maupun ekonomi.
Deteksi dini sebagai bagian dari upaya preventif penularan penyakit HIV, sifilis, dan Hepatitis sangat strategis untuk melindungi bayi maupun penularan lebih lanjut di masyarakat. Belum lagi munculnya stigma dan diskriminasi yang tidak bisa dihindari oleh ibu yang terinfeksi HIV, sifilis, dan Hepatitis B.
Dengan adanya pencegahan penularan melalui tes kemudian dilanjutkan pengobatan yang tepat bagi ibu hamil yang hasil tesnya positif, tentu dapat membantu mengurangi stigma masyarakat. Ibu hamil akan mendapatkan dukungan medis yang aman dan perawatan yang tepat sehingga kualitas hidupnya meningkat.
Melihat manfaat yang begitu penting bagi kesehatan masyarakat, maka artikel ini bertujuan untuk mengkritisi kebijakan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2017 dan memberikan masukan untuk perbaikan dalam implementasinya.
Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 52 Tahun 2017 merupakan bukti keseriusan pemerintah Indonesia untuk mengendalikan dan mengurangi prevalensi penyakit menular yang dapat dicegah.
Baca juga: HIV Masih Dianggap Aib, Dokter: Hindari Penyakitnya, Bukan Orangnya
Kebijakan tersebut telah menetapkan tahapan-tahapan yang jelas untuk mengeliminasi penularan penyakit khususnya dari ibu ke anak dan umumnya di masyarakat, sehingga berkontribusi dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Namun demikian, dalam implementasinya masih ditemukan banyak keterbatasan.
Kegiatan promosi kesehatan terkendala dalam implementasinya, terutama di daerah-daerah yang masih sulit dijangkau. Memang ada regulasi dalam pelaksanaan kegiatan tersebut yaitu dengan strategi advokasi, pemberdayaan masyarakat maupun kemitraan.
Namun edukasi tentang pentingnya deteksi dini HIV, sifilis dan Hepatitis B sebaiknya lebih diperluas dengan pendekatan yang lebih menjangkau kalangan masyarakat yang minim akses informasi kesehatan. Misalnya dengan pemberdayaan kader kesehatan atau edukasi berbasis komunitas yang dilakukan tenaga kesehatan dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu melakukan sinergi lintas sektor pada kegiatan promosi kesehatan karena pada kebijakan tersebut lebih fokus pada aspek kesehatan. Dengan pendekatan lintas sektor, pemahaman dan dukungan masyarakat terhadap kebijakan tersebut akan lebih meluas.
Kampanye pentingnya eliminasi penularan HIV, sifilis dan Hepatitis B dapat dilakukan melalui sektor pendidikan melalui sekolah, ataupun penyuluhan di tempat-tempat ibadah, bahkan sinergi bisa dilakukan dengan lembaga sosial yang saat ini jumlahnya tidak sedikit.
Akses untuk tes HIV, sifilis, dan Hepatitis B maupun pengobatan kasus yang terdeteksi juga masih terbatas terutama di daerah yang minim fasilitas kesehatan. Artinya, pendanaan dan distribusi obat-obatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer maupun rujukan perlu ditingkatkan agar tidak menghambat efektivitas kebijakan tersebut.
PMK Nomor 52 Tahun 2017 menekankan pentingnya deteksi dini untuk pencegahan penularan melalui pemeriksaan darah minimal satu kali selama kehamilan. Namun penanganan lebih lanjut bagi ibu hamil yang terdiagnosis infeksi hanya disebutkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan ada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan daerah.
Realita yang ditemui di masyarakat, banyak ibu hamil positif terinfeksi merasa putus asa karena mendapatkan stigma sehingga cenderung mengabaikan pengobatan lebih lanjut. Dengan demikian, kebijakan ini perlu didukung dengan layanan konseling bagi ibu hamil yang terdeteksi positif, agar mengurangi beban psikososial karena merasa didukung dan pada akhirnya terdorong untuk patuh terhadap pengobatan.
Selain stigma, diskriminasi bagi ibu hamil maupun anak yang terpapar infeksi virus selalu membayangi kasus positif HIV, sifilis, dan Hepatitis B. Tidak bisa dipungkiri, jika ibu hamil beresiko mengalami ketakutan untuk melakukan tes karena takut menghadapi stigma dan diskriminasi dari masyarakat.
Oleh karena itu, regulasi yang lebih tegas sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum sehingga dapat memastikan tidak ada diskriminasi dalam kehidupan sosialnya serta akses dalam sistem kesehatan, termasuk hak-hak privasinya.
Terakhir yang tidak kalah penting dalam implementasi adalah mekanisme monitoring dan evaluasi sehingga kebijakan tersebut dapat dinilai efektivitasnya. Dengan data-data yang transparan dan sistematis dari hasil monitoring dan evaluasi dapat menunjukkan sejauh mana dampak dari PMK Nomor 52 Tahun 2017 pada penurunan angka penularan HIV, sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki kebijakan yang telah ada. (*)