News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

PPN 12 Persen

Menyoal Pemanggilan Si Oneng

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Disna Riantina SH MH, Co-Founder Equality Law Firm Setara Institute

Oleh: Disna Riantina SH MH
Co-Founder Equality Law Firm Setara Institute

TRIBUNNEWS.COM - Rieke Diah Pitaloka, pemeran Si Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri, dipanggil Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Senin (30/12/2024).

Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan itu hendak disidang terkait kritikannya terhadap pemerintah ihwal rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, dari sebelumnya 11%.

Kebijakan ini rencananya akan berlaku per 1 Januari 2025 sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

Namun pemeriksaan Si Oneng ditunda sampai DPR menyelesaikan masa resesnya pada 20 Januari mendatang. 

Oneng hendak diperiksa MKD karena postingannya di media sosial yang menolak rencana kenaikan PPN menjadi 12% itu dinilai oleh pengadunya, Alfadjrie Aditia Prayoga, memprovokasi warga. 

Sebelumnya, anggota Fraksi PDIP DPR RI lainnya, Yulius Setiarto juga diadukan ke MKD karena melalui media sosialnya mengkritik "partai coklat" yang diduga tidak netral dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. 

Oleh pengadunya, Ali Lubis yang juga anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Yulius dianggap menyebar hoaks atau berita bohong. Yulius akhirnya dikenakan sanksi oleh MKD berupa teguran tertulis. 

Kita tidak akan mempersoalkan Si Oneng, Yulius, atau siapa pun, yang diadukan ke MKD dengan tuduhan pelanggaran kode etik, berasal dari fraksi apa pun, karena pemanggilan itu berlaku bagi semua anggota DPR dari semua fraksi, sesuai prinsip "equality before the law" (kesetaraan di muka hukum), dan kesetaraan di pemerintahan. 

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Kita juga tidak mempersoalkan pemanggilan Si Oneng, Yulius atau siapa pun oleh MKD bernuansa politik.

Sebab, DPR atau legislatif memang lembaga politik, sebagai salah satu dari tiga cabang kekuasaan di negara demokrasi, yakni trias politika, setelah eksekutif dan yudikatif. 

Yang kita coba persoalkan adalah apakah pemanggilan Si Oneng, dan juga Julius, atau lainnya itu ambigu atau tidak jika dikaitkan dengan aturan atau regulasi yang ada, khususnya terkait hak imunitas sebagai anggota DPR.

Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap Anggota DPR mempunyai hak imunitas.

Lalu, apa itu hak imunitas?

Hak imunitas bisa diartikan sebagai hak yurisdiksi hukum atau hak kekebalan hukum. Dalam hal ini, anggota DPR bebas berbicara dan mengekspresikan pendapatnya tanpa merasa khawatir dituntut secara hukum. 

Hak imunitas dalam Pasal 20A ayat 3 UUD 1945 adalah hak kekebalan anggota DPR dari proses hukum tertentu seperti dituntut dalam persidangan, pemeriksaan langsung, pemanggilan sebagai saksi, kecuali imunitas itu tanggal atau ditanggalkan.

Sedangkan tujuan dimilikinya hak tersebut adalah untuk memperlancar anggota dewan dalam menjalan tugas, fungsi dan wewenangnya sebagai wakil rakyat tanpa ada yang mengawasi dan juga merasa bebas tanpa ada yang mendikte atau menekan dari pihak mana pun, serta untuk menjaga kehormatan sebagai anggota DPR.

Dalam Pasal 224 dan 225 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) telah diatur mengenai beberapa ruang lingkup dari hak imunitas yang dimiliki setiap anggota DPR.

Antara lain, pertama, anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

Kedua, anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.

Ketiga, anggota DPR tidak dapat diganti antar-waktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

Namun di sisi lain, dalam pelaksanaannya, terdapat fungsi penegakan etik untuk menghindari terjadinya "abuse of power" (penyalahgunaan kekuasaan) dan mencegah hak imunitas dilakukan secara absolut atau semena-mena. 

Oleh karena itu, DPR membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang memiliki peranan sentral dalam mengawasi pelaksanaan hak imunitas anggota Dewan tersebut. 

Menurut Pasal 2 Peraturan DPR No 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR, MKD dibentuk oleh DPR yang merupakan alat kelengkapan Dewan yang bersifat tetap dan bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Di sinilah muncul ambiguitas. Di satu sisi anggota DPR memiliki hak imunitas, tapi di sisi lain ada MKD yang mengawasi penggunaan hak imunitas itu agar tidak secara absolut, semena-mena, atau bebas sebebas-bebasnya tanpa ada batasan. 

Ada kode etik yang mengikatnya. Kode etik itulah yang hendak ditegakkan oleh MKD.

Di sinilah MKD mungkin bak menghadapi buah simalakama: dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. 

MKD kemudian mengambil jalan tengah dengan bersikap normatif. Sepanjang ada aduan dari masyarakat, MKD akan memprosesnya. Sebaliknya jika tidak, MKD tidak akan mengada-ada. 

Seperti aparat penegak hukum, MKD sebagai lembaga penegak kode etik pun tak boleh menolak aduan dari masyarakat. Sepanjang syarat-syarat formalnya terpenuhi, maka MKD akan menyusun jadwal dan acara untuk menyidangkan aduan tersebut. 

Di sinilah barangkali pertanyaan mengapa Si Oneng dipanggil MKD untuk disidangkan, dan juga Julius Setiarto yang sama-sama dari Fraksi PDIP disidangkan dan akhirnya dijatuhi sanksi teguran tertulis menemukan jawabannya. 

DPR adalah lembaga politik. Sebab itu wajar jika para anggotanya bermain politik. 

Tapi berpolitiknya anggota DPR juga harus berlandaskan hukum, dalam hal ini Peraturan DPR No 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR.

Alhasil, jika apa yang disampaikan Si Oneng masih dalam koridor tugas pokok dan fungsinya sebagai wakil rakyat, maka tak perlu terlalu dipolitisasi. 

Secara pribadi, penulis menilai apa yang disampaikan Si Oneng justru menyuarakan kehendak mayoritas rakyat Indonesia yang berkebreratan dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12%.

Ingat, vox populi vox dei!

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini