TRIBUNNEWS.COM - Ir Soekarno atau lebih suka ditulis sebagai Sukarno tiada tanding dalam banyak perkara.
Ia jago orasi, dan sebab itu sangat populer sejak sebelum Indonesia merdeka, baik di Jawa maupun luar Jawa.
Penjajah Jepang pun memanfaatkannya sebagai juru propaganda utama untuk memerangi pasukan Sekutu.
Bung Karno sering diajak keliling Jawa dan luar Jawa untuk menggalang tekad rakyat bersama Jepang demi menegakkan kekuasaan Asia Timur Raya.
Pilihan berkolaborasi dengan Jepang ini merupakan sikap mainstream zaman itu.
Semua tokoh utama zaman itu memang memilih bekerjasama dengan Jepang untuk melawan imperialisme Amerika, Inggris, dan Belanda.
Perkecualian terjadi pada para pemimpin Pembela Tanah Air (PETA) yang memberontak, mula-mula di Blitar di bawah komando Sodancho Soeprijadi atau Supriyadi pada 14 Februari 1945, kemudian disusul PETA daerah-daerah lain.
Pada titik ini, kiranya dapat dipahami konteks pidato Bung Karno dalam video di atas.
Ia diajak Jepang ke Sulawesi 26 April-2 Mei 1945 untuk memberi bantuan pada usaha peperangan Asia Timur Raya dan persiapan Indonesia merdeka.
Selama di Makassar, ia sempat pula berziarah ke makam Pangeran Diponegoro atau Dipanagara, pengobar Perang Jawa 1925-1930 yang nyaris bikin bangkrut rezim Belanda.
Sekembali dari Sulawesi, Bung Karno pun didaulat pidato sekaligus dalam rangka perayaan hari Tenco Setsu atau ulang tahun Kaisar Hirohito.
Rekaman pidato itu jadi bahan propaganda Jepang untuk diputar di berbagai tempat.
Nah, di mana letak janji palsu Bung Karno?
Perhatikan ucapannya mulai menit 2.45. Bung Karno berkata, "Sehidup semati dengan Dai Nipon sebelum Indonesia merdeka, tetap sehidup semati dengan Dai Nipon sesudah Indonesia merdeka."
Pernyataan itu kontradiktif dengan ucapan Bung Karno pada menit berikutnya, "Lebih baik hancur lebur binasa lenyap dari muka bumi daripada dijajah kembali."
Jepang bagaimanapun adalah penjajah.
Lugasnya, ini cara cerdik Bung Karno memanfaatkan situasi: memberi janji palsu di depan Jepang, tetapi sekaligus menunjukkan kepada rakyat bahwa tujuan perjuangan saat itu adalah Indonesia merdeka, termasuk merdeka dari Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, politik luar negeri Presiden Sukarno ternyata tidak "sehidup semati dengan Dai Nipon."
Ia justru condong ke China dan Uni Soviet.
Hubungan luar negeri Indonesia yang makin harmonis dengan Jepang justru terjadi pada masa Presiden Soeharto, dan sebab itu meledaklah Peristiwa Malari, Malapetaka Limabelas Januari tahun 1974.
Mahasiswa marah karena semakin banyak mobil merk Jepang berkeliaran di jalanan Indonesia, dan investasi Jepang terus meningkat.
Kerusuhan besar pun pecah. (Yuli)