Laporan Wartawan Surya, Sany Eka Putri dan Ahmad Zaimul Haq
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Sedekah bumi yang dulu lebih dikenal dengan panen raya, seolah tak bisa terlepas dari warga Desa Made, Surabaya Barat ini.
Setiap tahunnya acara ini selalu diselengarakan oleh warga untuk menikmati hasil panen mereka.
Untuk memeriahkan acara sedekah bumi ini ada serangkaian acara, yakni Arak-arakan dan Kirab Tumpeng, Prosesi Ruwatan, Reog dan Gulat Okol.
Acara yang digelar dalam sehari di Punden, Singojoyo, Minggu (25/10), ini berhasil menyita perhatian jutaan pasang mata.
Ketua Acara, Joko Hadi Sumangat, mengatakan mengapa setiap setelah warga menerima hasil panen mengadakan acara ini karena untuk menghormati para leluhur dan tetua.
“Sedekah bumi ini sudah ada sejak zaman dulu. Bedanya dari yang sebelum-sebelumnya yaitu mengikuti perkembangan zaman. Seperti Reog, arak-arakan, tapi nggak menghilangkan kesan budayanya,” kata dia, Minggu (25//2015).
Ia menambahkan, yang tak berbeda dari zaman dulu ialah gulat okol ini tetap menggunakan jerami sebagai alas untuk bertanding.
“Siapa saja bisa ikut ini. Laki-laki, perempuan, yang penting seukuran porsi badan,” ujarnya.
Ketika Gulat Okol dimulai, semua bersorak untuk memberikan semangat kepada para pemain ini.
Siapapun boleh ikut bermain. Acara semakin seru saat para pemainnya mulai dari kalangan wanita.
Seolah tak ingin kalah mereka pun bertanding saling menjatuhkan lawan.
Salah satu peserta yang memang ahli karate mengatakan bahwa senang bisa ikut berpartisipasi dalam gulat ini.
“Ini hiburan untuk saya dan untuk warga di sini. Yang penting kita bisa menikmati acara,” kata Sumiyati (38).
Ibu dua anak asli Probolinggo yang sudah puluhan tahun tinggal di Surabaya ini menambahkan, acara ini harus terus diadakan sebagai symbol rasa terima kasih setelah hasil panen.
Gulat okol merupakan tradisi dari Jawa Timur, di mana saling mrnjatuhkan lawannya hanya dalam dua ronde.
Para pemainnya juga akan memakai seikat tali yang diikatkan di pinggang mereka.
Disamping itu, anggota Komisi C DPRD Surabaya, Vinsensius Awey mengatakan bahwa dari budaya sedekah bumi ini mencerminkan gotong royong yang memang patut dilestarikan.
“Semangat gotong royong masyarakat kota saat ini kalah dengan era globalisasi. Dari kegiatan yang sudah turun temurun dari leluhur ini pantas untuk dimanfaatkan sebagai destinasi wisata di Surabaya,” kata dia.
Ia menambahkan bahwa tidak ada salahnya Surabaya punya ikon wisata yang bisa menarik wisatawan.
“Kalau Madura punya Karapan sapi, nah Surabaya? Apa?,” ungkap dia. (*)