Namun mereka hanya mempertontonkan kepiawaian di trek.
Nyaris sempurna secara teknis, tapi kaku. Mereka hanya memikirkan trek, penonton ditempatkan di posisi yang jauh.
Tidak demikian Valentino Rossi. Jika sepakbola pernah melahirkan penghibur yang menyenangkan pada diri Paul Gascoigne, maka balap motor punya Rossi.
Gascoigne, satu di antara gelandang paling berbakat yang dimiliki Inggris, suka melucu di lapangan.
Dia mengobrol dengan pemain lain saat open play, dia mencuri kartu dari kantong wasit lantas mengembalikannya dengan imbalan permen karet, dia merayakan gol dengan selebrasi-selebrasi yang unik.
Rossi berkostum kuning. Penampilannya juga tidak mainstrem.
Ia, misalnya, pernah berlagak jadi Robin Hood, atau Superman, lengkap dengan jubahnya (meski dimodifikasi menjadi lebih pendek), atau membonceng malaikat (lelaki berkostum malaikat), naik ke atas podium dengan kaus oblong dan celana pantai, dan segudang tingkah "aneh" lain.
Di kelas 125cc, tiap kali juara, Rossi akan meminggirkan motornya, lalu mendekati pagar dan menyapa penonton.
Dia juga pernah melempar helm dan sarung tangan yang dikenakannya. Yang terakhir ini, dilakukannya di Sirkuit Sentul, tahun 1996.
Tentu, ada juga alasan untuk membenci Valentino Rossi. Sikapnya yang "tak mau kalah" kadang-kadang menjadi masalah.
Kengototan yang kelewat batas seringkali mencuat jadi ketidaksabaran dan membuatnya bergesekan keras dengan pebalap-pebalap lain. Michael Doohan, Max Biaggi, Sete Gibernau, Nicky Hayden, Casey Stoner, dan sekarang, Jorge Lorenzo dan Marc Marquez.
Dia juga suka bicara pedas. Tanpa tedeng aling-aling.
Pada Biaggi ia beberapa kali menyampaikan pendapat yang membuat hubungan keduanya jadi sangat dingin.
Pula demikian pada Stoner, Lorenzo, dan Marquez. Dalam hal ini, dia sedikit banyak mirip Dennis Rodman di basket, Muhammad Ali di tinju, dan -tentu saja- Jose Mourinho di sepakbola.