News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Video Populer Pekan Ini

Valencia, Momentum Pengukuhan Valentino Rossi Sebagai Legenda

Editor: Mohamad Yoenus
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TRIBUNNEWS.COM - BARANGKALI sampai sepuluh tahun ke depan, barangkali lebih, Anda tak akan menyaksikan lagi balapan seperti yang tersuguh di Sirkuit Ricardo Tormo, Valencia, Minggu 8 November 2015.

Anda tak akan lagi menyaksikan drama yang begitu mencekam, yang kemudian berkesudahan dengan kebahagiaan yang aneh.

The wierd happy ending, sebut Roberto Benigni. Seperti Life is Beautiful atau La Vita e Bella, film Italia yang mendapatkan Oscar pada tahun 1997.

Guido Orefice, tokoh sentral cerita, menemui ajal di tangan Nazi. Tapi ia meninggalkan senyum di bibir Giosue, anaknya. Ada kesedihan di sana, tapi juga ada kebahagiaan.

Seperti itulah Valentino Rossi mengakhiri Moto GP musim balapan 2015. Ia kalah, ia gagal menjadi juara dunia.

Namun apa yang ia tunjukkan di Valencia, di seri pamungkas rentetan lomba yang panjang dan melelahkan, sungguh memukau, dan mengukuhkan dirinya sebagai legenda.

Bukan semata karena penampilan. Memang, melakukan overtaking terhadap 22 pebalap di sirkuit berkarakter lambat seperti Valencia bukanlah perkara gampang. Bukan sembarang pebalap bisa melakukannya.

Apalagi, dia menunggang motor yang kalah dari sisi power.

Tapi bukan semata karena itu. Bukan semata faktor teknis. Rossi menjadi legenda, karena sekali lagi, telah menunjukkan kepada dunia bagaimana seharusnya duel di trek berlangsung.

Bagaimana semestinya olahraga ini diperlakukan.Ada semangat. Ada harapan. Ada peluang. Sebelum roda ban menyentuh garis finis, balapan belum berakhir.

Saya teringat ketika pertama kali menonton Valentino Rossi di tahun 1996. Kala itu dia masih menunggangi motor "capung". Motor sport kelas 125 cc.

Gaya membalapnya berbeda dibandingkan gaya pebalap-pebalap lain di masa itu.

Rossi jauh lebih ngotot dan agresif. Kecenderungan yang membuat pole position seolah-olah jadi tak terlalu penting lagi. Memulai balapan dari posisi mana saja, ia tetap berpeluang naik podium, bahkan jadi juara.

Perbedaan lain, ia sangat menghibur. Banyak pebalap hebat lain yang lahir sebelumnya.

Namun mereka hanya mempertontonkan kepiawaian di trek.

Nyaris sempurna secara teknis, tapi kaku. Mereka hanya memikirkan trek, penonton ditempatkan di posisi yang jauh.

Tidak demikian Valentino Rossi. Jika sepakbola pernah melahirkan penghibur yang menyenangkan pada diri Paul Gascoigne, maka balap motor punya Rossi.

Gascoigne, satu di antara gelandang paling berbakat yang dimiliki Inggris, suka melucu di lapangan.

Dia mengobrol dengan pemain lain saat open play, dia mencuri kartu dari kantong wasit lantas mengembalikannya dengan imbalan permen karet, dia merayakan gol dengan selebrasi-selebrasi yang unik.

Rossi berkostum kuning. Penampilannya juga tidak mainstrem.

Ia, misalnya, pernah berlagak jadi Robin Hood, atau Superman, lengkap dengan jubahnya (meski dimodifikasi menjadi lebih pendek), atau membonceng malaikat (lelaki berkostum malaikat), naik ke atas podium dengan kaus oblong dan celana pantai, dan segudang tingkah "aneh" lain.

Di kelas 125cc, tiap kali juara, Rossi akan meminggirkan motornya, lalu mendekati pagar dan menyapa penonton.

Dia juga pernah melempar helm dan sarung tangan yang dikenakannya. Yang terakhir ini, dilakukannya di Sirkuit Sentul, tahun 1996.

Tentu, ada juga alasan untuk membenci Valentino Rossi. Sikapnya yang "tak mau kalah" kadang-kadang menjadi masalah.

Kengototan yang kelewat batas seringkali mencuat jadi ketidaksabaran dan membuatnya bergesekan keras dengan pebalap-pebalap lain. Michael Doohan, Max Biaggi, Sete Gibernau, Nicky Hayden, Casey Stoner, dan sekarang, Jorge Lorenzo dan Marc Marquez.

Dia juga suka bicara pedas. Tanpa tedeng aling-aling.

Pada Biaggi ia beberapa kali menyampaikan pendapat yang membuat hubungan keduanya jadi sangat dingin.

Pula demikian pada Stoner, Lorenzo, dan Marquez. Dalam hal ini, dia sedikit banyak mirip Dennis Rodman di basket, Muhammad Ali di tinju, dan -tentu saja- Jose Mourinho di sepakbola.

Tapi, memang, sedikit alasan untuk membenci Rossi. Banyak alasan untuk mencintainya. Mau bukti? Lihatlah apa yang terjadi di Sirkuit Ricardo Tormo.

Lorenzo boleh jadi pemenang seri. Dan dia juara dunia. Marc Marquez finish di belakangnya, disusul pebalap Spanyol lain, Dani Pedrosa. Tiga podium seluruhnya milik pebalap-pebalap tuan rumah.

Namun Valentino Rossi mendapatkan penghargaan lain yang justru menjauh dari para juara ini. Para penonton yang meluap ke pinggir trek, memberikan applaus panjang padanya. Penonton-penonton di tribun juga begitu.

Tak terkecuali penonton yang membawa bendera bertulis angka 99 dan 93, nomor Lorenzo dan Marquez, yang notabene kini menjadi musuh besar Rossi.

Mereka tidak mau repot-repot melakukannya untuk sekedar menghibur Rossi, bukan? Iya, tentu saja bukan.

Mereka memberi applaus untuk pengukuhan sang legenda. The people champions! (T Agus Khaidir/Tribun Medan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini