Laporan Wartawan TribunSolo.com, Bayu Ardi Isnanto
TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Pasar tradisional identik dengan becek dan kotor. Tak pelak, ia cenderung kalah bersaing dengan pasar moderen yang muncul bak jamur di musim hujan. Terutama di kota-kota besar.
Masyarakat kota lebih memilih belanja di pasar moderen seperti Giant, Carrefour, atau Hypermart karena tempatnya bersih dan tak perlu repot tawar-menawar harga.
Namun, di Solo ada fenomena unik. Pasar Gede Hardjonagoro tetap jadi primadona buat masyarakat Solo untuk berbelanja memenuhi kebutuhannya.
Yang istimewa, pasar tradisional tersebut juga merupakan destinasi wisata buat turis mancanegara. Bahkan mereka tak segan selfie di depan gerbang pasar.
Pasar Gede memiliki daya tarik pariwisata yang kuat, baik dari segi arsitektur, sejarah, sosial, maupun ekonomi.
Pasar tersebut terdiri dari dua bangunan, sisi barat dan sisi timur. Bangunan yang didesain orang Belanda tersebut hingga saat ini masih berbentuk sesuai aslinya.
"Meski sempat habis terbakar pada tahun 2000, Pasar Gede dibangun kembali sesuai bentuk aslinya," kata Lurah Pasar Gede Hardjonagoro, Nur Rahmadi, Rabu (4/5/2016).
Para pedagang ditata lebih rapi supaya memudahkan pengunjung menuju tempat yang dicari.
Pasar Gede sisi timur terdiri dari 525 los pedagang dan 108 kios yang dibagi menjadi beberapa blok berdasarkan jenis komoditas, yakni sayur dan buah, aksesoris, daging, dan kuliner.
Blok kuliner merupakan tempat utama tujuan wisata. Di sana terdapat minuman Dawet Telasih yang melegenda, juga pusat oleh-oleh.
Sedangkan Pasar Gede sisi barat terdapat 126 kios yang dikhususkan untuk pasar buah di lantai dasar, dan pusat kuliner di lantai atas.
Sejak dibuka oleh Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X pada 1930, pasar tersebut menjadi tempat interaksi antaretnis, bahkan hingga sekarang.
Warga keturunan Tiongkok hingga saat ini mendominasi kawasan Pasar Gede, sehingga disebut sebagai kawasan pecinan.(*)