Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-undang perubahan keempat tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) tengah menjadi perbincangan hangat di publik saat ini.
Hal tersebut di antaranya karena dalam rapat di Gedung DPR RI Senayan Jakarta pada Senin (13/5/2024) lalu pemerintah melalui Menko Polhukam dan DPR sepakat untuk membawa RUU tersebut ke dalam Sidang Paripurna DPR RI.
Hal tersebut lantas memicu kritik dari berbagai pihak baik dari kalangan akademisi hukum tata negara maupun para mantan hakim konstitusi.
Satu di antara akademisi yang mengkritik adalah Guru besar hukum tata negara Universitas Padjajaran Prof. Susi Dwi Harijanti, SH., LL.M., Ph.D.
Susi pun membeberkan setidaknya ADA tujuh poin alasan RUU MK tersebut perlu dikritik tajam.
Baca juga: Ahli Hukum Tata Negara Menilai Revisi UU MK Dilakukan untuk Melumpuhkan Peradilan Konstitusi
Hal itu disampaikannya dalam webinar bertajuk Sembunyi-Sembunyi Revisi UU MK Lagi yang digelar PSHK, STHI Jentera, dan CALS secara daring pada Kamis (16/5/2024).
"Saya melihat, paling tidak ada beberapa poin mengapa pembahasan RUU perubahan ini harus kita kawal dan juga harus mendapat kritik-kritik yang tajam serta dorongan-dorongan yang kuat dari kalangan akademisi, kemudian masyarakat sipil karena ada beberapa hal," kata dia.
1. Argumentasi Terkait Asas Kebutuhan Lemah
Salah satu asas utama dalam pembentukan UU atau perubahan UU, kata dia, adalah asas kebutuhan atau keperluan.
Ia menjelaskan ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan menyangkut asas kebutuhan atau keperluan.
Pertama, lanjut dia, bila ada persoalan-persoalan yang tidak dapat diaelesaikan melalui UU yang saat ini ada.
Kedua, UU yang ada sudah usang.
Baca juga: Badan Legislasi Setujui Revisi UU Kementerian Negara Jadi Usul Inisiatif DPR
Ketiga, UU yang ada mengandung materi-materi atau norma-norma yang multi-interpretasi.
Keempat, kata dia, kebutuhan-kebutuhan poltik.