Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Jika Pengusaha Jepang Cenderung Sengak, Itu Salah Siapa?

Tanggal 28 Agustus 2007 di Jepang, Hatta Rajasa, berbicara di depan masyarakat Indonesia di Tokyo.

Editor: Widiyabuana Slay
zoom-in Jika Pengusaha Jepang Cenderung Sengak, Itu Salah Siapa?
IST
ILUSTRASI 

Richard Susilo *)

TRIBUNNEWS.COM - Tanggal 28 Agustus 2007 di Jepang, Hatta Rajasa, berbicara di depan masyarakat Indonesia di Tokyo. Menurutnya, Indonesia sudah benar track-nya. Tapi di lain hal disayangkannya, muncul kecenderungan suara sengak (menjelekkan) dari banyak orang kurang puas dengan keadaan negara Indonesia saat ini.

Hatta juga menekankan Indonesia sudah mengalami pahit getir berdemokrasi. Situasi demokrasi yang baik ini jadi modal dasar yang sangat baik dan potensial untuk dapat  menjadi negara maju. Kenyataan yang ada semua negara maju (Developed Countries) memang memiliki kerangka demokrasi yang kuat.

Lalu apakah di Jepang  ada pula  pengusahanya yang sengak (menjelekkan negaranya sendiri) seperti yang terjadi di Indonesia?

Jepang memiliki kekuatan demokrasi sangat kuat. Tidak ada negara di mana pun, di dalam kurun waktu satu tahun bisa dengan tenang mengalami empat kali pergantian  Perdana Menteri, kecuali Jepang (1993-1994).

Jepang memiliki GDP sekitar 45,000 dolar AS per kapita dapat dikatakan negara makmur sejahtera, berdemokrasi tinggi, asas keadilan, dan kebebasan hak asasi manusia pun dijaga dengan baik.

Di dunia bisnis Jepang pun persaingan sangat ketat terjadi. Masih ingatkah kasus pengambil alihan 35 persen saham Nippon Broadcasting, induk perusahaan Fuji TV oleh Horie (bos Livedoor Co.Ltd.), sampai ke pengadilan, dan berakhir jabat tangan satu sama lain, saling lakukan pertukaran saham silang dengan baik. Padahal sebelum kasus masuk pengadilan, caci-maki, suara sengak terjadi antara kedua belah pihak bisnis tersebut. Tapi ujung-ujungnya malah berangkulan. Tak masuk akal mungkin kalau di Indonesia.

Berita Rekomendasi

Itulah yang bernama professional bisnis. Bertarung kuat satu sama lain, masuk pengadilan, tapi berakhir manis, saling jabat tangan di muka ratusan kalangan pers Jepang. Satu bukti Hak Asasi Manusia, saling menghormati, dijalankan dengan baik di Jepang.

Memulai Usaha

Lalu apakah suara sengak itu muncul apabila ada pengusaha Indonesia baru mulai mencoba menjalin bisnis dengan penguasa Jepang?

Pengalaman lebih dari 20 tahun di Jepang selama ini tak pernah ada yang merendahkan pengusaha Indonesia. Sebaliknya dari pihak pengusaha Indonesia sendiri banyak sekali keluhan, salah paham, seolah pihak bisnis Jepang sengak, melecehkan, mengecilkan, menganggap rendah pengusaha Indonesia dan sebagainya.

Inilah kesalahan kita sendiri, tak mengerti pola  pikir pengusaha Jepang. Banyak sekali  salah pengertian karena kita tak bisa bahasa Jepang dan awalnya tak mau atau tak sempat mempelajari budaya Jepang. Menganggap sepele, buat apa sih belajar budaya segala untuk urusan bisnis dengan Jepang? Bahkan ada yang berpikir, gue gak mati kok gak berbisnis dengan Jepang. Itulah pemikiran sempit dan salah.

Bagaimana kita dapat berbisnis dengan baik kalau pola pikir lawan tak kita ketahui? Pola pikir itu dimulai dengan mempelajari budayanya.

Sebuah kasus di Kyoto, seorang pengusaha Indonesia saat negosiasi (dalam bahasa Inggris) merasa direndahkan karena disangka hanya ingin minta informasi saja tanpa mau membeli produk Jepang. Saking kesalnya pengusaha itu bersuara keras agak membentak pengusaha Jepang, “Saya ini ke sini mau membeli produk anda bukan mau minta-minta.” Langsung saja pihak Jepang kaget dan melayaninya dengan jauh lebih baik walau dengan bahasa Inggris sangat terpatah-patah. Mungkin jadi ketakutan ya?

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas