Di Jepang, TKI Diperlakukan Lebih Manusiawi Dibandingkan di Arab Saudi
Masih ingat di benak, 14 tahun lalu PM Malaysia Mahathir di Forum Internasional di Tokyo, menekankan agar
Editor: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM - Masih ingat di benak, 14 tahun lalu PM Malaysia Mahathir di Forum Internasional di Tokyo, menekankan agar Jepang jangan melirik ke Amerika Serikat dan Eropa melulu. Sadarlah kalau Jepang secara geografis ada di Asia berarti harus jauh menekankan Asia ketimbang dua benua tadi. Masa depan dunia akan berada di Asia, begitulah pesannya saat itu.
Kini terbukalah mata pengusaha Jepang. Ekonomi dunia jelas-jelas terfokus ke Asia saat ini khususnya di China dan di Asean. Tapi setelah kerusuhan September 2012, praktis umumnya perhatian ke Asean. Sedangkan Amerika Serikat saat ini lagi masih sekarat dengan masalah sub-prime (property), kesejahteraan sosial, dan pajak. Lalu AS minta bantuan ke Jepang dan ditolak Jepang.
Masalah AS tersebut berdampak ke Jepang khususnya nilai mata uang yen semakin kuat. Tapi pengusaha Jepang tak suka kalau menguat karena akan menghambat ekspor berbagai produknya ke berbagai negara. Jadilah suntikan dana di pasar uang dilakukan guna menjaga agar yen tidak menguat terus tapi dapat terkendali dan kini di kisaran 93 yen per dolar.
Masalah lain adalah terus meningkat harga minyak mentah. Jepang dengan sejarah masa lalu yang kesulitan minyak lalu dibantu Indonesia tak mau kejadian itu terulang lagi. Karena itu dicarilah segera tenaga alternatif, misalnya biogas, ethanol, hybrid, tenaga matahari, tenaga angin dan sebagainya.
Banyak sekali kejadian dunia menggetarkan Jepang di samping masalah dalam negeri mereka seperti korupsi uang pensiunan hingga 400 juta yen dibawa kabur oknum koruptor pegawai negeri Jepang, gempa bumi dan tsunami dua tahun lalu, serta berbagai perubahan dan pergantian pemerintahan yang sering terjadi hingga kini.
Akibatnya, masyarakat Jepang sudah tak percaya lagi kepada petugas negara yang membidangi soal pensiunan. Umumnya warga Jepang kini merasa melihat kesuraman masa depannya.
Anak muda Jepang melihat hal itu mulai mengurangi minum alkohol seperti bir. Dampak tersebut membuat jumlah penjualan berbagai produsen bir turun saat ini. Anak muda Jepang berusaha menabung uangnya dan tak mau belanja hal-hal yang dirasa dapat dihemat terutama biaya pengeluaran besar seperti bir dan minuman keras lain.
Perubahan strategi di perusahaan Jepang juga mulai kelihatan dalam hal sirkulasi uang mereka. Dulu perusahaan Jepang di luar Jepang, sebisa mungkin sebanyak mungkin mengirimkan keuntungannya ke kantor pusat di Jepang.
Kini beberapa Perusahaan Jepang mulai mengubah pola tersebut. Uang keuntungan usaha ditabung diinvestasi di negara yang bersangkutan untuk pengembangan usaha lebih lanjut sehingga ketergantungan suntikan dana dari kantor pusat kini semakin kecil.
Lihat saja komentar Kunio Noji, President dan CEO Komatsu Ltd. Ia menegaskan bahwa strategi Perusahaannya saat ini lebih menekankan kepada domestik negara masing-masing.
“Uang yang diperoleh dari usaha perusahaan sebaiknya disimpan dan diputarkan di negara yang bersangkutan tidak dikirimkan ke kantor pusat Jepang,” demikian ungkapnya belum lama ini.
Perubahan kebijaksanaan banyak Perusahaan Jepang itu karena mempertimbangkan perubahan nilai mata uang asing yang semakin tidak menentu dan risiko yang semakin tinggi. Sedangkan pemikiran finansial banyak pengambil keputusan di Jepang termasuk konservatif, sebisa mungkin tidak menggunakan pihak ketiga untuk hedging yang memakan biaya tidak kecil.
Guna mengurangi cost bagi perantara hedging tersebut, masih lebih baik apabila di simpan di masing-masing negara sehingga risiko praktis nol karena tak perlu tukar ke mata uang lain.
Perubahan strategi perusahaan Jepang memang tak dapat dihindarkan selain globalisasi yang berjalan pesat dewasa ini juga akibat populasi Jepang yang semakin sedikit dan membutuhkan tenaga tambahan dari luar. Masuknya tenaga dari luar berarti akan mengubah struktur atau tatanan kemasyarakatan di Jepang nantinya.
Sementara anak muda Jepang sudah sejak satu dua tahun terakhir ini banyak yang “kabur” ke luar Jepang mencari dan melakukan bisnis sendiri sesuai keinginannya dan tentu dengan risiko sendiri. Hal tersebut jelas akan semakin mengosongkan jumlah penduduk di Jepang. Jadi bukan hanya industrinya yang hollowing Out tetapi anak mudanya juga "kabur" ke luar Jepang.
Bisa dibayangkan dari data pemerintah Jepang diperkirakan tahun 2030 jumlah tenaga kerja di Jepang hanya 10 juta orang saja. Lainnya sudah tua alias pensiun dan tidak produktif lagi.
Lalu apabila jumlah penduduk akan tetap di atas 100 juta manusia (kini 125 jiwa), berarti nantinya banyak pendatang asing di Jepang mengisi kekosongan lapangan pekerjaan yang ada. Bagaimana perlakuan, masa depan orang asing tersebut, termasuk tenaga kerja Indonesia di Jepang? Sangat menarik untuk kita ikuti sejak dini karena sejak 11 Desember 2007 parlemen Jepang telah mengsahkan perundangan uang memperkenankan sedikitnya 1500 tenaga kerja Indonesia masuk ke Jepang.
Ada kemungkinan akan bertambah, apabila tidak ada masalah apa pun dengan 1500 tenaga kerja Indonesia yang masuk ke Jepang itu. Setidaknya mayoritas orang Indonesia adalah Islam. Apakah negeri Sakura itu dapat menerima kalangan muslim yang harus sholat lima kali sehari dan tidak makan babi serta tidak minum bir?
Menarik diikuti perkembangan ini sementara pihak Indonesia sendiri berbenah untuk dapat mengirimkan para tenaga kerja tersebut ke negeri yang katanya penuh dengan kesopan-santunan serta TKI akan mendapat perlakuan sangat baik ketimbang pengiriman ke negara-negara di Timur Tengah seperti Arab Saudi. Benarkah demikian? Waktulah yang akan berbicara.
Informasi lengkap lihat: http://www.tribunnews.com/topics/tips-bisnis-jepang.
Konsultasi, kritik, saran, ide dan segalanya silakan email ke: info@promosi.jp
*) Penulis adalah CEO Office Promosi Ltd, Tokyo Japan, berdomisili dan berpengalaman lebih dari 20 tahun di Jepang