Ke Mana Raibnya Uang Pariwisata Indonesia Sebesar Rp 1,17 Triliun?
Sejak lima tahun lalu wisatawan Jepang ke Indonesia harus pakai visa on arrival (VOA). Tinggal bayar
Editor: Widiyabuana Slay
Richard Susilo *)
TRIBUNNEWS.COM - Sejak lima tahun lalu wisatawan Jepang ke Indonesia harus pakai visa on arrival (VOA). Tinggal bayar di bandara internasional masuk, misalnya di Ngurah Rai Bali sebesar 25 dolar AS untuk tinggal 30 hari atau 10 dolar AS hanya untuk 7 hari.
Pendapatan selama 2007 dari VOA (hanya Bali) sedikitnya 25,5 juta dolar AS. Lalu kalau dikalikan lima (karena sudah lima tahun) berarti negara seharusnya memiliki uang sedikitnya 127,5 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,17 triliun.
Kemudian sejak Februari 2010 VOA dilakukan di atas pesawat Garuda Indonesia. Katakan sehari melayani 600 penumpang karena penerbangan dari Tokyo 2 rute, dan satu dari Osaka, masing-masing 200 penumpang. Berarti sehari mendapat 25 dollar AS x600 penumpang= 15.000 dollar AS atau sekitar Rp 146 juta dengan kurs Rp 9.700 per dollar AS.
Menjadi pertanyaan, Ke mana uang itu semua saat ini? Mengapa tidak dimanfaatkan untuk membuka kantor promosi pariwisata Indonesia di Tokyo Jepang?
Kantor tersebut sebelum krisis keuangan tahun 1997 masih ada di Tokyo tapi tutup sekitar tahun 1998 karena beban pembiayaan yang sangat membengkak akibat krisis finansial Asia tersebut. Kemudian sekitar tahun 2004 mulai dibuka dan dilakukakan dengan cara “bim salabim” karena masyarakat industri pariwisata serta hotel dan restoran Indonesia tidak dilibatkan.
Muncullah nama MM sebuah perusahaan di Jepang yang menangani kantor promosi pariwisata Indonesia di Tokyo. Bosnya seorang Amerika sangat yakin kantor pariwisata itu bisa sukses karena ada stafnya yang sudah satu tahun tinggal di Indonesia.
Jangankan setahun tinggal di Indonesia, penulis sendiri lebih 20 tahun tinggal di Jepang merasa belum mengenal Jepang yang dari segi geografis jauh lebih kecil dari Indonesia. Bos itu juga yakin kontrak 250.000 dolar AS setahun dengan Badan Promosi Pariwisata Indonesia (saat itu) diyakininya akan diperpanjang tiap tahun. Kenyataan, kontrak itu hanya satu tahun saja.
Tujuh tahun lalu dengan model penunjukan ke sebuah biro perjalanan Jepang melalui cara diam-diam Departemen pariwisata Indonesia membuat kontrak tiga bulanan. Perusahaan Jepang itu membuat website promosi Indonesia dalam bahasa Jepang.
Yang pasti, tidak ada kejelasan resmi mengenai penunjukan perusahaan biro perjalanan Jepang itu sebagai kantor promosi pariwisata Indonesia. Bahkan Departemen pariwisata menandatangani kesepakatan dengan Garuda Indonesia menyepakati penggunaan Kantor Garuda di Tokyo sebagai tempat penyebaran pamflet atau brosur pariwisata Indonesia.
Semua praktis serba simpang siur, tidak ada kejelasan penunjukan, tidak ada kejelasan jalur uang dari Departemen Pariwisata di Jakarta ke Tokyo.
Belum lagi partisipasi Indonesia di Pameran Pariwisata Internasional beberapa kali di Tokyo, ternyata sangat jelek sekali. Kosong melompong dan terasa hanya menghamburkan uang saja. Terdengar pihak Departemen pariwisata ditipu oleh pihak Event Organizer sehingga akhirnya kewalahan dalam penyiapan pameran di negeri Sakura tersebut.
Dua hal terpenting di sini. Pertama soal uang VOA yang tidak jelas penggunaannya saat ini. Memang benar masuk ke kas negara karena masuk lewat BNI. Tapi cara ini pun belum lama dilakukan. Dulu saat VOA baru mulai diterapkan, uang masuk penerimaan itu, langsung diberikan oleh wisatawan kepada petugas saat bersamaan pemberian VOA di bandara internasional masuk di Indonesia.
Jadi sebenarnya uang masuk dan penggunaan uang VOA perlu diperjelas dan dibeberkan lebih lanjut oleh Pemerintah. Kebanyakan uang VOA itu , terutama yang masuk lewat Bali, umumnya dari wisatawan Jepang. Itu sebabnya banyak warga Jepang saat ini sebenarnya juga mempertanyakan, ke mana lari uang VOA itu ya?