Blue Economy Suplai Ketahanan Pangan
Indonesia mengusung konsep Blue Economy alias Ekonomi Biru untuk menggenjot peran sektor perikanan dan kelautan
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Indonesia mengusung konsep Blue Economy alias Ekonomi Biru untuk menggenjot peran sektor perikanan dan kelautan demi memperkuat ketahanan pangan berkelanjutan secara nasional. Paradigma bisnis Ekonomi Biru ini menawarkan konsep alternatif kebijakan dalam mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat, dimana salahsatunya adalah aktivitas ekonomi yang mengedepankan kelestarian lingkungan, menggerakkan perekonomian yang rendah karbon (low carbon economy) dengan meninggalkan praktek ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek, yang mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan.
Konsep inilah yang diusung delegasi negara peserta Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) 2013 di Santika Dyandra Premiere Hotel Medan, Senin (24/6/2013). Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Saut P Hutagalung, mengakui harus ada pendekatan holistik dan terpadu serta komprehensif untuk mewujudkan konsep Ekonomi Biru.
"Itulah yang coba kita tawarkan kepada negara-negara peserta APEC. Artinya bagaimana membangun konsep Blue Economy yang berkelanjutan serta bermanfaat. Termasuk bagi kita (Indonesia) juga," katanya.
Ia menegaskan pentingnya peran kelautan untuk ketahanan pangan saat ini. Dengan semakin menyempitnya lahan di darat, jelasnya, maka tidak ada pilihan lain karena masa depan tergantung seberapa jauh sebuah negara mampu menggali potensi laut untuk ketahanan pangannya. Baik menjaga kelestarian laut, mengurangi pencemaran serta menjaga ekosistem dan habitat.
Ia memang mengakui investasi di bidang perikanan dan kelautan yang dilakukan oleh pemerintah di wilayah laut Indonesia masih terbilang minim. Sepanjang tahun 2012 saja, masih Rp 300 miliar saja suntikan dana segar milik pemerintah yang dikeluarkan. Sementara sekitar Rp 1,7 triliun adalah dana segar milik investor asing yang menanamkan modalnya di berbagai sektor perikanan dan kelautan Indonesia.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slamet Soebjakto mencatat, investasi China di sektor budidaya perikanan secara nasional memakan persentase terbesar daftar investor Blue Economy di Indonesia, yakni mencapai 30 persen. Selain rumput laut, budidaya ikan tangkap juga menjadi daya tarik bagi investor asal China untuk mengeruk hasil laut Indonesia.
"Selain China, beberapa negara Asia lain pun turut meramaikan pasar investasi sektor perikanan budidaya Indonesia seperti Jepang dan Thailand. Jepang mengisi porsi sebanyak 15 persen investasi Indonesia sementara angka investasi Thailand lebih kecil, hanya sekitar 3 persen," katanya.
Ia memaparkan, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menarik investor baru serta memfasilitasi mediasi, promosi, dan pengurangan hambatan bagi investor. Dengan pemberian mediasi, fasilitasi, pemberian insentif, dan promosi peluang investasi, dapat memberikan gambaran yang menyeluruh tentang masih terbukanya peluang investasi di bidang kelautan dan perikanan di Indonesia.
"Kita sebenarnya mengutamakan joint venture antara swasta nasional dan pemerintah. Tapi kadang kita kan kekurangan dana. Jadilah mengajak pihak atau negara lain untuk menyumbangkan teknologi maupun pinjaman. Tapi sebenarnya kita utamakan yang dalam negeri kok," kilah Saut. Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan investasi perikanan tahun 2013 ini mencapai Rp 2,5 triliun. Hingga triwulan pertama 2013, realisasi investasi sudah mencapai Rp 752 miliar.
Saut Hutagalung mengungkapkan Indonesia saat ini mendorong pemanfaatan pusat riset perikanan dan kelautan yang ada di Provinsi Bali untuk dikoneksikan dengan negara-negara peserta APEC. Kondisi ini penting, katanya, mengingat negara APEC adalah akumulasi dari 70 persen konsumen yang mengkonsumsi ikan dan hasil laut di perairan dunia.
Secara nasional jumlah hasil laut khususnya ikan, yang dikonsumsi mencapai 3,8 kilogram per kapita sepanjang tahun 2012. Karena itulah negara-negara APEC sangat berkepentingan untuk saling menghubungkan data riset kelautannya demi membangun penelitian yang berkelanjutan.
"Di pusat data yang ada di Bali, kita sudah bekerjasama dengan negara-negara seperti Amerika dan Jepang. Kita harus tingkatkan kerjasama dengan negara lain. Karena saling menguntungkan sesama negara pengkonsumsi ikan dunia," terangnya.
Saut mengatakan hal yang akan menjadi kendala diambilnya hasil laut untuk mensuplai kebutuhan ketahanan pangan adalah musim dan fenomena wilayah laut yang masih belum bisa terprediksi dengan baik. Ia berharap dengan dukungan riset yang intens dan para peneliti dari masing-masing negara, akan diketahui bagaimana cara menggenjot perolehan hasil laut masing-masing negara.
"Ini tentunya juga untuk meningkatkan perdagangan bisnis di sektor kelautan. Tapi untuk meningkatkan volume dan transaksi, kan harus dijaga juga ekosistemnya," tegasnya. Ia meminta adanya pengawasan ketat terhadap tindak pengambilan hasil laut secara ilegal.(ers)