Ratifikasi FCTC Diduga Sarat Kepentingan Asing
Keinginan pemerintah meratifikasi FCTC mendapatkan tentangan dari pusat dan daerah
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keinginan pemerintah meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) mendapatkan tentangan tidak hanya di pusat tapi juga daerah.
Salah satunya, Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur Bidang Perekonomian, Agus Dono Wibianto. Dia menilai FCTC menyuarakan kepentingan asing dan akan membunuh industri tembakau nasional dan daerah.
"Kami mendapat surat dari asosiasi cengkeh, kemudian melaporkan persolan FCTC itu ke Kementerian Kesehatan tapi tidak ditanggapi," katanya dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/12/2013).
Sikap ngotot meratifikasi dinilai untuk kepentingan asing dalam hal ini sektor farmasi yang ingin menguasai cengkeh Indonesia yang notabene dari sisi kualitas sangat bagus.
"FCTC diberlakukan, maka konsumsi rokok yang merupakan hak asasi seseorang dibatasi. Pemerintah harus melihat sisi mikro juga dalam hal ini petani buruh yang mencapai 2 juta orang. Jangan hanya melihat sisi kesehatan saja, ada cukai yang disetor mencapai Rp 112 triliun dimana 60 persen berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah," katanya.
Dia menegaskan, akan tetap mengupayakan agar ratifikasi FCTC tidak ditandatangani Presiden SBY. Untuk itu akan disiapkan paper khusus terkait dampak buruk ratifikasi.
Agus sendiri bersama sejumlah perwakilan asosiasi tembakau dan beberapa anggota DRPD Jatim mengaku telah mendatangi kantor Kemenkes minggu lalu guna menyampaikan aspirasi petani tembakau. Namun Menteri Kesehatan tidak menerima dengan alasan tidak jelas dan hanya ditemui sekretarisnya.
Jika hendak berdalih melindungi kesehatan, tidak berarti harus menghancurkan industri tembakau. "Dua juta petani pekerja pabrikan akan gulung tikar belum lagi dari sisi cengkeh," katanya.
Sementara itu, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar, menilai pemberlakukan ratifikasi itu akan mengancam industri padat karya terutama industri rokok di daerah.
"Kebijakan FCTC bisa menambah pengangguran, kami ini industri padat karya. Harusnya pemerintah memberi insentif bukan membuat kebijakan yang merugikan pengusaha," katanya.