Demi BHP, Kemkominfo Dinilai Gadaikan Aset Negara ke Asing
Rencana pengalihan langsung frekuensi 1800 MHz milik Axis ke XL Axiata dalam merger keduanya terus menuai penolakan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pengalihan langsung frekuensi 1800 MHz milik Axis ke XL Axiata dalam merger keduanya terus menuai penolakan. Apalagi dalam merger kedua operator tersebut, dikhawatirkan menimbulkan penguasaan lebih besar industri telekomunikasi oleh asing.
Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), mengatakan seperti halnya minerba (mineral dan batu bara), frekuensi adalah sumber daya terbatas yang harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian.
Ia melanjutkan, belajar dari pengalaman mega skandal divestasi Indosat, yang membuat negara tak lagi mendapatkan bagian dividen, kepemilikan asing seharusnya dibatasi. "Keberadaan operator asing di industri telekomunikasi cenderung pada akhirnya tidak menguntungkan bagi negara,”ujarnya, Senin (30/12/2013).
Marwan mencontohkan, sistem pengadaan baik teknologi, perangkat maupun jaringan, vendor yang ditunjuk merupakan afiliasi dari operator bersangkutan. Kebijakan tersebut tak lepas dari upaya untuk memperoleh pendapatan maksimal, tak peduli jika harus mengorbankan keberadaan vendor lokal.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring menyetujui merger XL dan Axis termasuk pengalihan frekuensi secara langsung. Tifatul beralasan, merger tersebut demi menyelamatkan pemasukan negara melalui Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi yang menjadi utang Axis senilai Rp 1 trilun kepada negara.
Hal yang jadi permasalahan adalah pengalihan frekuensi 1800 MHz milik Axis untuk XL tanpa proses tender yang sebenarnya berpotensi memberi keuntungan lebih besar kepada negara. Dengan kata lain, kata Marwan, Kominfo yang dipimpin Tifatul bisa dinilai 'menggadaikan' aset negara hanya untuk menyelamatkan BHP Axis yang note bene adalah perusahaan milik asing.
Marwan berpendapat, kebijakan mengobral asset strategis seperti frekuensi kepada pihak asing, justru membahayakan kepentingan strategis nasional. Apalagi frekuensi 1800 MHz yang pada dasarnya, bisa menjadi pintu untuk keterbukaan informasi dan komunikasi bagi masyarakat di pelosok nusantara.
“Pemerintah seharusnya mempunyai komitmen yang kuat untuk membendung masuknya investor asing yang ingin menguasai asset negara. Kalau semuanya diserahkan kepada pihak asing, Indonesia selamanya akan menjadi negara kuli,” tuturnya.
Marwan mengapresiasi keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menunda proses merger XL Axis. Ini lantara adanya indikasi memunculkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Apalagi DPR sebelumnya juga tidak menyetujui karena dianggap mengandung banyak kejanggalan dan berpotensi merugikan negara. Komisi I bahkan berencana memanggil Kominfo dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP).
"Keputusan KPPU dapat dijadikan dasar dalam meninjau ulang kebijakan yang sebelumnya telah diambil oleh Menkominfo. Sebaiknya Menkominfo dan BRTI lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan strategis agar tidak mengorbankan kepentingan bangsa di masa depan. Jangan lagi mereka lebih pro asing”, ujar Marwan.
Ia pun mengusulkan, untuk meredakan polemik, sebaiknyaTifatul dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengundang seluruh stakeholder dalam sebuah diskusi publik. Kehadiran diskusi publik dapat mengakomodir kepada masing-masing pihak dan elemen bangsa dapat berkontribusi.
Kinerja Kemkominfo dan tim Ad Hoc pun bisa lebih diawasi secara transparan, sehingga dalam memutuskan isu frekuensi yang namanya kolusi bisa betul-betul terbukti tidak terjadi. Diskusi public juga sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Sementara agar tidak menimbulkan friksi dalam internal pemeritahan terkait penolakan langkah Tifatul oleh Hatta Rajasa yang notabene merupakan atasannya dalam struktut Kabinet Bersatu II, Marwan menyarankan, Presiden untuk turun tangan. Presiden SBY dapat segera menggelar Rapat Kabinet Terbatas (RKT).
Diperlukan ketegasan sikap dari Presiden. Dengan sisa pemerintahan 10 bulan, Presiden dapat mengarahkan para pembantunya agar kebijakan yang diambil tak lagi bersifat sesaat, tidak berpihak kepada asing, apalagi untuk kepentingan kelompok semata.
"Intinya negara harus dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari sumber daya yang dimiliki termasuk frekuensi”, ujarnya.