Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Keluh Kesah Petani Kopra Sulut

Sulawesi Utara juga dikenal dengan sebutan Bumi Nyiur Melambai, merujuk pada banyaknya pohon kelapa.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Keluh Kesah Petani Kopra Sulut
/Tribun Manado/Rizky Adriansyah
Sejumlah petani kelapa melakukan bonkar muat di perkebunan Buha, Manado, Sulawesi Utara, Senin (20/5). Bungkil kopra produksi Sulut yang diekspor ke Vietnam mencapai 1.900 ton dan mendatangkan devisa sebesar 308.750 dolar Amerika Serikat. (Tribun Manado/Rizky Adriansyah) 

TRIBUNNEWS.COM, MANADO -- Sulawesi Utara juga dikenal dengan sebutan Bumi Nyiur Melambai, merujuk pada banyaknya pohon kelapa. Namun kini banyak orang meninggalkan budidaya kelapa.

Minahasa Utara menjadi salah satu daerah penghasil kelapa terbesar di Sulawesi Utara. Dulu, banyak masyarakat menggantungkan hidupnya dari berbuahnya pohon kelapa.

Memasuki 2014, sulit sekali mencari petani kopra. Mereka banting setir setelah harga kopra jatuh, sementara biaya pemeliharaan sangat tinggi.

Martje Rambing, warga Airmadidi, Minut yang sebentar lagi akan merayakan ulang tahunnya ke-59 merasakan getirnya memelihara kelapa.

Sejak kecil, ia sudah bertanam kelapa dan membuat kopra. Adapun ketika berumah tangga, baru 10 tahun yang lalu, ia mengusahakan keuntungan di tanahnya sendiri.

Tapi dari usahanya itu, ia merasa tidak menemukan manisnya keuntungan pohon kelapa. Ia mengatakan, dari apa yang didengarnya, usaha kopra dari kelapa hanya sempat booming di tahun 80-an. Sisa tahun yang lain ditandai dengan terjun bebasnya harga.

"Sekarang seratus kilogram harganya hanya Rp 400 ribu," ujar Martje tanpa semangat.

Berita Rekomendasi

Jika ia mampu memproduksi seratus kilogram, keuntungan dari situ juga harus dibagi dua. Dari semua penghasilan, ia harus membagi dua  dengan yang bekerja untuk mengambil, dan mengolahnya menjadi kopra.

Ini menunjukkan kelapa kurang memberi penghasilan lumayan bagi pemiliknya. Budidaya kelapa akhirnya menjadi kurang diminati dibandingkan budidaya cengkih.

Meskipun begitu, Martje tetap bertahan. Walau akhirnya kelapa dipanen dua kwartal sekali, kegiatan itu tetap dilakukan. Sudah sejak lama, kelapa dibiarkan jatuh sendiri dan bertumbuh di tempat yang tidak direncanakan. Hingga kini perlakuan itu tetap diberikan bagi sebelas pohon kelapanya.

"Kan tergantung juga orang yang bekerja untuk menaiki. Rata-rata mereka sekarang menjadi tukang ojek," katanya.

Kelapa pun tidak menaikkan harkat hidup Martje. Rumahnya tetap kecil sederhana.
"Tidak ada yang dapat dibeli. Anak-anak juga tidak sekolah tinggi. Ini hanya untuk kebutuhan dapur," tuturnya lagi.

Memang meskipun terkenal dengan sebutan Nyiur Melambai, Martje menyadari bahwa hidup mereka yang bergantung kepadanya tidak semanis sebutannya. Selain dibiarkan, banyak pohon yang sudah dipotong dahulu untuk membuat rumah.

Pada saat harga naik pun, Martje tidak akan mendapatkan apa-apa. Kelapa akan dijajakan berlebihan di jalan-jalan. Dan Martje akan kehilangan kesempatan untuk meraih keuntungan lebih.

"Minyak itu licin. Jadi kalau bermimpi memegang uang banyak, akan jatuh karena licinnya harga minyak," tandasnya. (david manewus)

Tags:
Sumber: Tribun Manado
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas