Pengusaha Pelayaran Pesimistis Bisa Bertahan
Pelayaran nasional diperkirakan sulit untuk bertahan dari gempuran luar negeri pada diberlakukannya masterplan AEC
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pelayaran nasional diperkirakan sulit untuk bertahan dari gempuran luar negeri pada diberlakukannya masterplan Asean Economic Community (AEC) tahun 2015 akibat banyaknya masalah yang merundung industri ini.
Untuk itu, para pengambil kebijakan tidak perlu takut untuk memberikan insentif bagi pelayaran karena sudah menjadi Instruksi Presiden No.5/2005 dan dilindungi UU No.17/2008 tentang Pelayaran, khususnya pasal 56 dan 57, apalagi Indonesia adalah negara kepulauan dimana seharusnya biaya transportasi laut seharusnya yang paling murah dibandingkan moda lainnya.
Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan masalah yang merundung pelayaran mencakup pajak yang memberatkan, tariff kepelabuhanan yang terus meningkat, aturan teknis yang belum setara dengan negara lainnya hingga tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum di laut (Sea and Coast Guard).
Dia menjelaskan selama masalah-masalah tersebut tidak segera diatasi oleh negara, pihaknya pesimistis industri pelayaran nasional dapat bersaing pada Asean Economic Community 2015. “Mengapa kita tidak mengadopsi negara lainnya dimana mereka sudah memberikan semua insentif yang dibutuhkan bagi pelayaran? Bukankah itu akan lebih cepat,” kata Carmelita dalam keterangan persnya.
Insentif fiscal misalnya, sudah lebih dua tahun diperjuangkan oleh sektor pelayaran, tetapi belum ada realisasinya. “Penghapusan PPN atas bongkar muat barang pada jalur perdagangan luar negeri dan PPN atas pembelian BBM kapal hingga kini belum diberikan pemerintah, padahal jika PPN atas pembelian BBM dihilangkan, harga BBM kita masih tetap lebih mahal dibanding negara lain,” katanya.
Berdasarkan catatan INSA, sejumlah kebijakan perpajakan hingga kini masih banyak yang memberatkan sektor pelayaran bahkan kebijakan tersebut tidak lazim dianut atau diterapkan di negara lainnya di dunia sehingga daya saing pelayaran nasional pada angkutan luar negeri menjadi rendah.
Sejumlah PPN yang menurunkan daya saing nasional itu antara lain pengenaan PPN 10% atas impor kapal jenis Floating Crane akibat adanya perbedaan persepsi dimana satu kementerian menyatakan floating crane termasuk kapal sehingga bebas PPN, tetapi di kementerian lain didefinisikan bukan sebagai kapal sehingga menjadi objek PPN.
Selain itu, pengenaan PPN 10% juga dikenakan atas kegiatan bongkar muat barang/container pada jalur pelayaran internasional dan pengenaan PPN 10% atas pembelian BBM. “Bulan lalu, dokumen aturan penghapusan PPN ini kabarnya sudah di meja Presiden, tetapi sampai hari ini belum ada indikasi akan segera terbit, padahal kita sudah menunggu 2 tahun,” katanya.
INSA juga memerlukan kepastian mengenai pembentukan Badan Sea and Coast Guard yang hingga kini terkatung-katung, padahal UU Pelayaran mengamanatkan badan ini sudah terbentuk paling lambat tiga tahun.
Pihaknya mendengar Inpres akan segera keluar dimana kabarnya akan menetapkan KAMLA sebagai lembaga yang menangani masalah penegakan hukum di laut. “Apakah ini akan menjadi satu-satunya? Sebab, jika masih ada lembaga lain yang melakukan penegakan hukum di laut, kondisinya tidak akan berubah dari kondisi sekarang, padahal kondisi pelayaran saat ini sudah kesulitan karena tumpang tindih kewenangan di laut itu.”
“Bagaimana kita bisa bicara biaya logistik murah, belum lagi infrastruktur yang belum terbangun dan tarif-tarif kepelabuhanan yang terus meningkat, sementara semua itu menjadi beban biaya ongkos angkut dalam satu ke satuan biaya pelayaran, padahal biaya rill untuk pelayaran saat ini hanya 30%, tapi kita harus menanggung biaya crew, BBM, biaya maintenance, kewajiban membayar pinjaman ke bank,” katanya.