Aturan Australia soal Kemasan Polos Tak Punya Bukti Ilmiah
Dua kementerian berkomitmen untuk terus memperjuangkan akses pasar sejumlah komoditas unggulan Indonesia
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berkomitmen untuk terus memperjuangkan akses pasar sejumlah komoditas unggulan Indonesia yang kini penetrasinya mulai terhambat oleh sejumlah negara mitra dagang.
Salah satu komoditas andalan Indonesia yang sedang menghadapi persaingan tidak sehat di pasar internasional, adalah produk tembakau yang selama ini diandalkan untuk terus bertumbuh secara stabil di tengah lesunya perdagangan dunia.
Seperti diketahui, produk tembakau asal Indonesia kini berada dalam tekanan. Pasalnya salah satu negara tetangga yaitu Australia telah menerapkan peraturan terkait kemasan polos (plain packaging) untuk seluruh produk tembakau. Hal tersebut dinilai sebagai ancaman nyata bagi produk tembakau dari Indonesia, karena dengan penerapan peraturan terkait kemasan polos tersebut, daya saing produk diyakini akan menurun.
Iman Pambagyo, Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag), mengatakan ekspor rokok tahunan Indonesia ke Australia tidak cukup besar, namun jika peraturan tersebut diterapkan di Australia maka hal itu dapat diikuti oleh negara-negara lain, sehingga akan membahayakan perdagangan internasional produk tembakau Indonesia pada skala yang lebih luas.
Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negara produsen rokok kretek terbesar di dunia dan secara peringkat, Indonesia menempati posisi nomor 2 terbesar di dunia, setelah Uni Eropa, sebagai negara produsen-pengekspor produk tembakau manufaktur.
"Kebijakan Plain Packaging diadopsi tanpa bukti ilmiah atau analisis. Jika kita mengabaikannya, ini bisa menjadi preseden buruk bagi negara manapun untuk mengadopsi kebijakan ketat tanpa dasar ilmiah, kebijakan subjektif seperti ini pun nantinya dapat menjadi dasar untuk diterapkan di produk lain selain produk tembakau," kata Iman saat menjadi pembicara dalam acara Seminar “Peran Pemerintah Indonesia dalam Melindungi dan Meningkatkan Komoditas Agrikultur Unggulan Dalam Negeri” yang diselenggarakan Forum Wartawan Industri (Forwin), di Jakarta, kemarin.
Iman mengatakan penerapan aturan kemasan polos akan memaksa industri rokok lokal untuk menyesuaikan harga. Hal ini akan memiliki dampak negatif terutama pada produsen rokok kecil dan menengah yang mungkin tidak memiliki kapasitas untuk melakukannya. Terlebih lagi mempertimbangkan efek dominonya terhadap jutaan petani tembakau dan cengkeh yang tersebar di seluruh Indonesia. "Efektivitas kemasan polos tidak terbukti. Dengan kemasan yang sama, produsen rokok hanya akan bersaing dari segi harga," katanya.
Iman juga menuturkan, aturan ini juga akan merangsang munculnya produk-produk palsu dan rokok ilegal yang diperdagangkan. Sengketa tembakau dengan Australia adalah kasus kedua yang dihadapi oleh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Kasus sebelumnya telah dimenangkan oleh Indonesia terkait pelarangan rokok Kretek di Amerika Serikat.
Panggah Susanto, Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut, mengatakan untuk Kemenperin rokok dan tembakau bukan sekedar masalah kesehatan, tapi sudah menjadi industri, bahkan menjadi prioritas. Tapi bukan berarti Kemenperin mendorong orang untuk merokok.
Menurut Panggah, industri tersebut telah memberikan pemasukan melalui cukai dan ppn hingga Rp 150 triliun kepada negara, ditambah lagi mendorong tenaga kerja sebanyak 6 juta orang.
“Saya rasa untuk menggantikan peran industri tembakau itu sulit, tetapi kalau untuk mengurangi konsumsi itu saya rasa bisa. Tapi kembali lagi saya tidak yakin bahwa industri tembakau ini untuk digantikan,” katanya.
Panggah menjelaskan, industri rokok tidak bisa dihilangkan, bahkan di China dikelola oleh negara sepenuhnya. Jika Indonesia bisa mengatur keseimbangan untuk industri rokok, maka Indonesia akan mendapat keuntungan yang tinggi.
Seperti diketahui pada 2011, Australia berusaha membatasi penjualan rokok dan produk tembakau di negaranya dengan menerbitkan aturan yang tertuang pada Tobacco Plain Packaging Act. Dalam peraturan tersebut, seluruh rokok dan produk tembakau yang diproduksi sejak Oktober 2012 dan dipasarkan sejak 1 Desember 2012 wajib dikemas dalam kemasan polos tanpa mencantumkan warna, gambar, logo dan slogan produk.
Australia tercatat sebagai negara pertama yang memberlakukan aturan tersebut, yang kemudian diikuti oleh Selandia Baru. Kondisi ini membuat Indonesia, Ukraina, Honduras, Republik Dominika dan Kuba mengajukan gugatan arbitrasi internasional melalui Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Para negara-negara penggugat berargumen bahwa peraturan tersebut telah melanggar peraturan perdagangan internasional dan hak kekayaan intelektual atas merek dagang produk tembakau tersebut.
Selain itu, enam lembaga bisnis Amerika Serikat meminta pemerintah Selandia Baru menunda pemberlakuan undang-undang kemasan polos untuk produk tembakau.
Dikutip dari Kantor Berita Perancis Agence France Presse (AFP), kelompok yang mencakup Kamar Dagang AS, Dewan Perdagangan Asing Nasional dan Asosiasi Manufaktur Nasional, mengatakan undang-undang tersebut dapat menghilangkan hak pengusaha dalam menggunakan ciri khas merek dagangnya. Regulasi tersebut juga dikhawatirkan akan mendorong angka peredaran produk tembakau illegal.
Menurut data yang diterima dari Kemenperin, bahwa kinerja ekspor tembakau dan rokok pada 2009 menyentuh angka 52.515 ton dan pada 2012 mengalami penurunan sebesar 15.405 ton, menjadi 37.110 ton. Sementara, kapasitas produksi rokok nasional hingga akhir tahun mencapai 308 miliar batang, meningkat 6 miliar batang dibandingkan realisasi tahun lalu sebanyak 302 miliar batang.