Pajak Impor Tinggi, Eksportir Biodiesel Mulai Tinggalkan Pasar Eropa
Eksportir biodiesel mulai berpikir dua kali untuk menjual produknya kepada pembeli dari negara-negara Uni Eropa
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eksportir biodiesel mulai berpikir dua kali untuk menjual produknya kepada pembeli dari negara-negara Uni Eropa. Pasalnya, hal itu bakal berbenturan dengan kebijakan otoritas Uni Eropa yang mempersulit masuknya biodiesel dari Indonesia.
Togar Sitanggang, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI), menyebutkan secara perlahan-lahan ekspor biodiesel ke Uni Eropa akan dikurangi secara bertahap mulai tahun ini.
Merujuk kepada data APROBI, ekspor biodiesel ke Uni Eropa tahun lalu mencapai satu juta Kilo Liter (KL). Namun, kata Togar Sitanggang, diperkirakan tahun ini akan turun di bawah 500 ribu KL. Lebih lanjut lagi, pengurangan volume ekspor ini ditopang kebijakan mandatori biodiesel sebesar 10 persen (B10) yang mulai berjalan pada tahun ini.
“Seperti saya bilang pada tahun lalu kalau B-10 telah direalisasikan, maka lupakan Eropa. Sekarang ini sudah terbukti kami tidak akan kirim lagi ekspor biodiesel ke sana,” ujar Togar, akhir pekan lalu.
Dalam kesempatan terpisah, Paulus Tjakrawan, Ketua Harian APROBI, mengakui pengenaan pajak impor biodiesel di Uni Eropa yang sangat tinggi menjadi pertimbangan utama untuk mengalihkan pasar Uni Eropa kepada negara lain.
Kalangan eksportir membidik pembeli dari negara lain di kawasan Asia seperti Cina, Korea Selatan. Selain itu, kata Togar Sitanggang, sudah ada permintaan dari Amerika Serikat pada tahun ini yang kebutuhannya diperkirakan 200 ribu KL per tahun.
“Saat ini, beberapa eksportir lebih memilih penjualan biodiesel untuk pasar dalam negeri ketimbang ekspor. Karena pemerintah berencana meningkatkan campuran biodiesel sebesar 20 persen atau B20 pada tahun depan,” jelas Togar.
APROBI mendukung pelaksanaan uji coba B20 untuk kendaraan bermobil yang mulai berjalan pada minggu lalu. Simulasi penggunaan bauran biodiesel ini melibatkan beberapa pihak antara lain BPPT, Gaikindo, Pertamina, APROBI. Kendaraan yang diujicobakan yaitu Chevrolet, Mitsubishi, dan Toyota. Jarak yang ditempuh mencapai 40 kilometer dimulai dari Serpong - tol Jagorawi-Puncak-Cianjur-Padalarang-Cileunyi-Bandung-Lembang-Subang-Cikampek-Palimanan-Karawang-Cibitung-dan kembali ke Serpong.
Togar Sitanggang menyebutkan apabila uji coba kendaraan tersebut berhasil, kalangan produsen optimis kewajiban pencampuran minyak bahan bakar dengan biodiesel sawit sebesar 20 persen akan dapat diterapkan pemerintah. Keterlibatan BPPT membantu pembuktian bahwa campuran B20 cocok digunakan mesin kendaraan, karena setiap minggu akan diperiksa komponen dan oli kendaraan.
“Kami yakin tidak ada masalah di mesin kendaraan karena sudah dicoba di internal kebun dan logistik kami sendiri. Tapi memang belum dibuktikan secara ilmiah,” paparnya.
Kebijakan B20 akan berdampak positif kepada industri biodiesel yang kapasitasnya diperkirakan naik menjadi 7 juta-8 juta KL. Sekarang, kapasitas terpasang biodiesel baru 5,7 juta KL. Menurut Togar Sitanggang, bukan hal sulit bagi produsen untuk tingkatkan kapasitas produksi bahkan sampai kepada tahapan membangun pabrik membangun pabrik biodisel baru. Asalkan, B20 terealisasi dan harga menguntungkan.
Terkait harga tender biodiesel, Togar Sitanggang meminta pemerintah supaya memberikan harga yang sifatnya menguntungkan produsen. Formula harga Mean of Platts Singapore (MOPS) plus yang digunakan Pertamina belum memperhitungkan harga CPO sebagai bahan baku biodiesel.
Yang terjadi saat ini, harga CPO sebesar 880 dolar AS per ton ditambah dengan ongkos olah sekitar 150 dolar AS per ton. Total, biaya produksi sebesar 1.050 dolar AS per ton. Sementara, harga MOPS solar sekitar 888,3 dolar AS per ton. "Harga MOPS plus kurang menguntungkan buat kami karena tidak menghitung CPO sebagai bahan baku. Akibatnya, menciptakan ketidakpastian bagi produsen," keluh Togar Sitanggang.
Menurutnya, produsen meminta harga tender biodiesel yang berlaku sekarang dikaji ulang sehingga tidak merugikan perusahaan. Kalaupun pemerintah ingin memakai skema MOPS sebaiknya digunakan terbatas pada BBM bersubsidi (PSO). Sementara, BBM non subsidi menggunakan formula harga di luar MOPS.