Strategi Bentoel Agar Tidak Berdarah-darah Lagi
Aturan bisnis rokok dan kompetisi yang makin sengit melibas kinerja PT Bentoel Internasional Investama Tbk.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Aturan bisnis rokok dan kompetisi yang makin sengit melibas kinerja PT Bentoel Internasional Investama Tbk. Di balik kabar pengunduran diri 970 karyawannya pekan ini, perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki British American Tobacco (BAT) itu juga memiliki catatan keuangan yang masih berdarah-darah.
Paling tidak dalam dua tahun terakhir, Bentoel konsisten menanggung rugi tahun berjalan. Pada tahun 2012, perusahaan berkode RMBA di Bursa Efek Indonesia itu merugi Rp 323,35 miliar. Lantas, pada tahun 2013, jumlah kerugiannya melejit hingga lebih dari dua kali lipat, menjadi Rp 1,04 triliun.
Catatan keuangan Bentoel tahun ini juga tak menunjukkan sinyal perbaikan. Dari Januari–Juni 2014, Bentoel sudah mencatat rugi Rp 856,29 miliar. Nilai kerugian itu naik 59,54% dari periode yang sama tahun 2013.
Atas kondisi keuangan tersebut, manajemen Bentoel tidak tutup mata. Manajemen menyatakan sudah melakukan upaya untuk memperbaiki kinerja. Ada dua cara yang dilakukan perusahaan itu.
Pertama, membenamkan investasi untuk mendanai belanja mesin, serta mengembangkan divisi pemasaran dan distribusi. Bentoel mengklaim telah merogoh kocek lebih dari Rp 20 triliun untuk keperluan investasi sejak 2012.
Hanya, Winny Soendaroe, Bentoel Group Corporate Affairs Manager tak sekaligus memerinci investasi apa yang dimaksud. Plus, berapa alokasi investasi Bentoel khusus tahun ini. "Bila dilihat dari laporan tahunan kami, malah investasi terus dilakukan. Saya tidak punya data selama setahun ini, tapi yang saya tahu sejak tahun 2012, nilai investasi perusahaan kami lebih dari Rp 20 triliun," katanya kepada KONTAN, Selasa (9/9).
Cara kedua, manajemen Bentoel terus meningkatkan efisiensi. Produsen rokok merek Club Mild itu mengaku tantangan bagi perusahaan perusahaan fast moving consumer goods khususnya di industri tembakau, makin besar. Sebut saja kenaikan biaya produksi, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat serta perubahan aturan hukum dan tarif cukai tembakau.
Salah satu cara yang sudah diterapkan Bentoel untuk meningkatkan efisiensi adalah dengan menawarkan pengunduran diri kepada hampir 1.000 karyawannya. "Dengan jumlah 970 karyawan, itu efisiensi di pabrik bisa di terapkan. Keuangan kami baik dan akan terus meningkatkan efisiensi perusahaan. Oleh sebab itu, yang kami tawarkan adalah program pengunduran diri suka rela di sigaret kretek mesin (SKM)," beber Winny.
Kembali mengintip laporan keuangan semester I-2014, biaya upah tenaga kerja langsung sejatinya bukan komponen pengurang pendapatan bersih yang besar. Pasalnya dengan total biaya produksi Rp 6,51 triliun, Bentoel hanya harus membayar Rp 120,22 miliar untuk mengupah para karyawan pabriknya. Dengan kata lain, komponen itu hanya setara dengan 1,85% terhadap total biaya produksi.
Komponen terbesar dalam biaya produksi Bentoel adalah biaya pita cukai termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). Komponen pengurang itu tercatat Rp 4,85 triliun, atau setara dengan 74,5% terhadap total biaya produksi.
Sayangnya, meski telah mengutarakan dua strateginya, Bentoel tak mau blakblakan tentang target perusahaan itu ke depan. "Kami perusahaan terbuka, tidak bisa memberi proyeksi atau perkiraan seperti itu. Untuk strateginya tentu rahasia perusahaan," elak Winny. (Benediktus Krisna Yogatama)