Pemerintah Tak Mampu Sediakan Hunian Layak Bagi Rakyat Berpenghasilan Rendah
Ledakan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang tidak memiliki rumah layak huni diperkirakan bakal mencapai 60 juta
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Eddy Ganefo, mengatakan ledakan pertumbuhan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang tidak memiliki rumah layak huni diperkirakan bakal mencapai 60 juta jiwa.
Menurutnya, potensi tersebut semakin melukiskan wajah buram MBR yang terbelit dalam potret ketidaklayakan hidup. "Padahal pemukiman merupakan salah satu dasar kebutuhan masyarakat saat ini," kata Eddy dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (29/9/2014).
Eddy menuturkan, rumah dan pemukiman yang tidak layan hunian di kawasan kumuh (slum area) dan daya beli masyarakat yang rendah secara tidak langsung akan semakin membebani warga produktif.
Permukiman, kata Eddy tidak hanya berupa rumah tinggal semata, tetapi juga sarana, prasarana dan fasilitas yang layak di lingkungannya. Seperti infrastruktur jalan, jembatan, drainase, penerangan dan air bersih. "Serta aksesbilitas ke kawasan ekonomi," tuturnya.
Masih kata Eddy, kepemilikan atas pemukiman merupakan hak asasi dari setiap warga negara, baik yang hidup diperkotaan maupun pedesaan. Oleh karena itu, sesungguhnya merupakan kewajiban Pemerintah untuk menyediakan akses kepada masyarakat untuk dapat memperoleh permukiman yang layak huni, aman, nyaman, damai, sejahtera, berbudaya, dan berkeadilan sosial.
"Ini merupakan kewajiban pemerintah terhadap warga negaranya," tegasnya.
Lebih lanjut Eddy mengatakan, ketidakberdayaan pemerintah untuk mengemban tanggungjawab memenuhi hunian yang layak bagi rakyatnya disebabkan oleh adanya tujuh hambatan utama yang menyulitkan MBR mendapatkan hunian layak.
Hambatan pertama menurut Eddy adalah keterbatasan lahan untuk pembangunan perumahan bagi MBR. Kedua, yakni hambatan hukum dan peraturan perundang-undangan, ketiga yaitu hambatan yang berasal dari pengembang.
"Dimana manajemen kebijakan pengembangan perumahan cenderung berorientasi pada pembangunan rumah komersil yang dapat mengeliminasi hak MBR," ujar nya.
Sementara hambatan yang keempat adalah hambatan yang datang dari politik yakni kurangnya komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan pengembangan perumahan untuk MBR. Sementara hambatan kelima, hambatan distributif, dimana aksesbilitas MBR ke pasar perumahan masih sangat terbatas.
Hambatan keenam yakni persoalan dana. "Skema pembiayaan perumahan belum efektif menyentuh persoalan dalam usaha membuka akses MBR untuk memiliki rumah," tuturnya.
Hambatan terakhir menurut Eddy adalah hambatan sumber daya manusia. Dimana pemegang kebijakan perumahan rakyat tidak menjiwai rumah dari perumahan untuk rakyat. "Padahal ini salah satu program utama pemerintah," katanya.
Eddy pun berharap, pemerintahan ke depan, dengan Presiden baru akan lebih serius dalam melaksanakan tanggung jawabnya dalam menyediakan hunian layak bagi masyarakat.
"Saya berharap pak Jokowi sebagai Presiden akan lebih serius dalam menangani persoalan ini. Apalagi beliau sudah berpengalaman menyelesaikan persoalan MBR di Jakarta. Semoga ini bisa menular ke daerah lain di seluruh Indonesia," tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.