Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pemerintah Dituntut Serius untuk Gulirkan Program Konversi BBM ke BBG

Pemerintah dituntut untuk lebih memerhatikan berbagai potensi energi alternatif seperti gas yang belum dimanfaatkan secara maksimal

Penulis: Sanusi
zoom-in Pemerintah Dituntut Serius untuk Gulirkan Program Konversi BBM ke BBG
WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
Petugas mengisikan bahan bakar gas (BBG) untuk bajaj melalui mobil pengisian BBG atau Mobile Refueling Unit (MRU) di Lapangan IRTI Monas, Jakarta Pusat, Jumat (6/9/2013). MRU milik Perusahaan Gas Negara (PGN) ini merupakan fasilitas pengisian BBG yang dapat berpindah lokasinya sehingga dapat menjadi solusi pengisian BBG yang sering terkendala jarak dan lahan pembangunan. WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dituntut untuk lebih memerhatikan berbagai potensi energi alternatif seperti gas yang belum dimanfaatkan secara maksimal dan masih melimpah ketimbang terus-menerus bergantung pada impor minyak.

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menilai dari sekian kali kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan LPG bersubsidi, seringkali pemerintah luput untuk membenahi penyediaan energi alternatif. Pemerintah Selasa lalu menaikkan harga BBM subsidi sebesar Rp 2.000 per liter sehingga menghemat subsidi hingga Rp 120 triliun.

"Misal dari Rp 120 triliun penghematan subsidi BBM itu kemudian dialihkan ke infrastruktur termasuk pembangunan SPBG di kota-kota besar atau membangun fasilitas energi baru dan terbarukan, sehingga konversi BBM ke BBG dan energi alternatif lainnya bisa lebih cepat," kata Tulus, Rabu (19/11/2014).

Ia menyarankan, dari nilai penghematan itu, bisa saja misal dialihkan Rp 30 triliun untuk konversi BBM ke BBG karena sampai saat ini hanya ada 19 SPBG. Itu pun belum maksimal karena kendaraan bermotor belum banyak memakai BBG termasuk angkutan umum.

"Sering dikatakan membangun MRT cukup Rp 16 triliun, kenapa dialihkan ke sana sekaligus membangun SPBG sekaligus penyediaan angkutan umum berbasis gas, karena program gasifikasi kendaraan umum juga sudah mendesak," tuturnya.

Ia menjelaskan, program konversi ke gas di Indonesia yang dimulai pada 1998 hampir berbarengan dengan yang dijalankan di Pakistan. Kini hasilnya jauh berbeda. Pakistan sekarang punya 3.000 SPBG sehingga tiap tahun hampir 3 juta kendaraan menikmati gas.

"Karena Pemerintah Pakistan konsisten dengan rencana, kemudian dieksekusi sehingga program itu terlaksana. Di Indonesia terlalu banyak kepentingan," ujarnya.

BERITA REKOMENDASI

Padahal, dengan harga minyak yang mahal maka kebijakan menggunakan energi alternatif seperti gas sudah sangat mendesak. Dari sisi pasokan pun melimpah. "Sebenarnya seluruh alasan untuk tidak mempercepat gasifikasi kendaraan bermotor, justru menunjukkan bahwa ada kepentingan tertentu di balik itu," tegas Tulus.

Dari hasil pengamatan di luar negeri, kata Tulus, di Guangzhou, Tiongkok, busway dan transportasi di sana justru menggunakan gas dari lapangan Tangguh. Kemudian taksi-taksi di Malaysia pakai gas dari Indonesia.

"Bahkan pembangkit di Singapura juga menggunakan gas dari Indonesia yang diambil langsung dari Natuna dan Sumatra Selatan. Sementara di kita, PLN seringkali kesulitan mendapat gas, dan bahkan banyak pembangkit listriknya masih menggunakan BBM, kelihatan sekali bahwa ada pihak-pihak tertentu yang lebih senang mengimpor minyak," tuturnya.

Ia curiga, impor minyak yang terus dipertahankan mengindikasikan adanya kepentingan tertentu yang berkolaborasi dengan para mafia minyak, sehingga program konversi ke gas jadi lambat. "Importir minyak itu juga salah satu penghambat eksternal konversi, karena ada mafia mafia itu tadi. Revitalisasi kilang sangat seret," ungkapnya.

Ketua Komite Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri mengatakan, konversi ke BBG tak maksimal karena perencanaan yang dilakukan pemerintah tak sungguh-sungguh. "Ini terutama masalah lambatnya pengembangan infrastruktur, diduga ada konflik kepentingan dari pebisnis minyak yang tidak mau berkurang marginnya" ujar dia.


Komite Reformasi, kata Faisal, memang tidak akan secara langsung mendorong konversi. Namun, pertama-tama akan diidentifikasi lagi masalah apa saja yang menghambat untuk kemudian diberikan rekomendasi-rekomendasi perbaikan. "Kami akan berikan rekomendasi perbaikan," tegasnya.

Hanya, ia menyarankan, pemerintah menggeber konversi ke BBG minimal di untuk angkutan publik di kota-kota besar terlebih dahulu secara sungguh-sungguh dengan memperbanyak infrastruktur penunjang. Pembangunan infrastruktur itu juga harus diberikan kemudahan.

Ia berharap, agar konversi maksimal, semua pihak mendahulukan kepentingan bangsa dan mengurangi kepentingan pribadi dan golongan bicara. "Perlu tindakan tegas dari Pemerintah agar benturan kepentingan tersebut tidak berlarut larut," tuturnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas