Pembangunan Rumah Rakyat Terkendala Lahan Kurang dan Infrastruktur Minim
"Tahun depan trennya masih residensial, baik tapak maupun vertikal, karena kebutuhannya masih tinggi," ujar Lukman, Kamis (4/12/2014).
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pertumbuhan properti di Indonesia berkembang pesat. Maklum, angka kebutuhan unit rumah terus bertambah saban tahunnya.
Menurut Presiden Direktur PT Eureka Prima, Lukman Purnomosidi, di Jabodetabek saja, perumahan masih menjadi primadona. Di sisi lain, rumah sederhana semakin sulit ditemukan di Jakarta.
"Tahun depan trennya masih residensial, baik tapak maupun vertikal, karena kebutuhannya masih tinggi," ujar Lukman, Kamis (4/12/2014).
Tingginya kebutuhan tersebut, kata Lukman, dipicu pertumbuhan penduduk di Jabodetabek yang meningkat menjadi 30 juta jiwa. Daya beli masyarakat terhadap properti juga terus tumbuh.
"Perumahan di Jakarta didominasi perumahan menengah sampai rumah mewah. Hal ini juga disertai dengan pertumbuhan perkantoran, hotel, kondotel, dan mal," sebut Lukman.
Saat kondisi pertumbuhan properti komersial sedang naik, tambah Lukman, pembangunan perumahan sederhana pun tertinggal. Kenapa demikian? Akar masalah perumahan rakyat sendiri dibagi menjadi tiga sumber, hulu, tengah, dan hilir.
Di hulu, atau sumber utama masalah perumahan adalah kurangnya lahan dan minimnya infrastruktur. Adapun sumber tengah adalah bagaimana pembangunan rumah berikut pengadaan material. Sumber masalah ketiga adalah terkait regulasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
"Selama ini yang diutak-atik hanya yang hilir. Padahal sumber utamanya di hulu, ya tanah dan infrastruktur. Percuma kalau hilir dulu, tapi di hulu masih berantakan," kata Lukman.
Ia pun mencontohkan, untuk mengatasi ketersediaan tanah yang semakin menipis, pemerintah bisa menaikkan nilai koefisien lantai bangunan (KLB) menjadi di atas 5. Menurut Lukman, cara ini efektif dalam menyiasati lahan yang terus berkurang, khususnya di Jakarta.
"Misalnya tanah 50 hektar, dengan KLB yang tinggi di atas 5, jadi setara dengan tanah 500 hektar, karena luas bangunannya bertambah," tutur Lukman.
Sementara itu, tambah dia, masalah infrastruktur juga tidak bisa diabaikan. Saat ini, di Jakarta sudah tidak bisa lagi membangun rumah tapak, sedangkan minat masyarakat masih tinggi. Masyarakat pun terpaksa mencari rumah di luar Jakarta.
"Semua tinggal di pinggir (Jakarta). Persoalannya sekarang di infrastruktur. Tiap hari macet karena yang tinggal di luar Jakarta bawa kendaraan," kata Lukman.
Oleh sebab itu, ia mendorong pemerintah untuk membenahi infrastruktur, terutama transportasi umum, misalnya kereta atau bis, agar pekerja dari luar Jakarta tidak harus membawa kendaraan pribadi dan menyebabkan macet di dalam kota.
Dengan infrastruktur yang baik, masyarakat tidak perlu khawatir bila harus tinggal jauh dari tempat kerjanya karena jaraknya dapat ditempuh dengan cepat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.