Pemerintah Perlu Tetapkan Industri Unggulan untuk Dongkrak Ekspor
Pemerintah diharapkan menetapkan empat hingga lima industri untuk mendukung ekspor. Salah satunya industri pulp dan kertas
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diharapkan menetapkan empat hingga lima industri untuk mendukung ekspor. Salah satunya adalah industri pulp dan kertas. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan memberikan insentif bagi industri tersebut.
Menurut Ekonom Indef, Aviliani, ekspor saat ini menjadi salah satu tumpuan utama bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Industri pulp dan kertas memiliki daya dukung besar, terutama karena tidak banyak negara yang memiliki kemampuan memproduksi. "Industri pulp dan kertas perlu diberikan insentif karena mampu mendorong ekspor," kata Aviliani dalam diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Selasa (23/12/2014).
Dia mengatakan, insentif bagi industri kertas diantaranya berupa kemudahan regulasi karena dapat mendorong ekspor. Langkah itu dimaksudkan untuk mendorong perkembangan industri dalam negeri demi mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah. Ke depan, industri di Indonesia diharapkan dapat menghasilkan produk ekspor yang berdaya saing.
Aviliani mengatakan, meski saat ini adalah era teknologi, Industri pulp dan kertas diprediksi akan terus berkembang seiring dengan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia. Diantaranya karena ditopang peningkatan kebutuhan kertas tisu dan kemasan. "Saat ini kesadaran orang terhadap lingkungan semakin tinggi dengan mengurangi penggunaan plastik sehingga beralih ke kertas" kata dia.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian, Pranata, mengatakan pihaknya berharap pemerintah tidak memperpanjang moratorium hutan alam dan lahan gambut pada 2015 agar ketersediaan bahan baku untuk industri pulp dan kertas tidak terhambat. Selama ini, pasokan bahan baku untuk industri pulp dan kertas dipasok dari hutan tanaman industri (HTI), namun sektor tersebut banyak menghadapi masalah.
Dia menilai, industri pulp dan kertas Indonesia saat ini menduduki urutan ke enam di ASEAN dan ke tiga di Asia. Pranata optimis, industri pulp dan kertas nasional mampu menduduki posisi terdepan saat masyarakat ekonomi Asean (MEA) diterapkan. "MEA menjadi langkah awal untuk mengembangkan pasar," ujar dia.
Menurut dia, produk pulp dan kertas seharusnya tidak memerlukan sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) karena merupakan produk hilir, yang memanfaatkan kayu yang telah mengantungi SVLK. sayangnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki pemahaman lain yang berbeda karena semua produk kayu harus memiliki SVLK.
Hal itu justru menambah biaya produksi yang tidak perlu terjadi. Akibatnya, pabrik hanya mampu memproduksi sampai pulp saja, dan tidak berlanjut hingga produk kertas sehingga daya saing turun.
"Jika terjadi penurunan di industri pulp dan kertas, yang harus disalahkan adalah Kementerian Perdagangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," kata Pranata.
Di forum yang sama, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan menjelaskan, pemerintah dapat meningkatkan ekspor 300 persen pada 2015, atau lebih cepat dari target pemerintah jika memberikan insentif bagi industri pulp dan kertas. Diantaranya, dengan memberikan Usance letter of credit (LC) agar buyer dapat membayar pembelian pulp dan kertas dari Indonesia selama enam bulan. "Dijamin dengan Usance LC ekspor Indonesia pasti melonjak," tutur Rusli.
Dia menambahkan, patut dipertanyakan mengapa minat investasi, terutama asing di industri pulp dan kertas minim, mengingat potensi Indonesia besar untuk mengembangkan sektor tersebut. Dia menduga karena adanya ketidakpastian investasi dan peraturan yang tumpang tindih.