Daripada Tergantung Buah Impor, Ribuan Hektar Lahan Tidur Milik BUMN Dikonversi Jadi Kebun
Ribuan hektar lahan tidur milik BUMN diusahakan agar bisa dikonversi jadi kebun buah. Daripada tergantung buah impor.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Kebutuhan lahan kebun buah dalam skala luas menjadi kebutuhan untuk mengembangkan industri buah. Untuk itu, sebagian lahan badan usaha milik negara PT Perkebunan Nusantara disarankan diubah untuk mengembangkan tanaman buah.
Sejak 2012 hingga tahun ini, PT Perkebunan Nusantara VII telah mengonversi setidaknya 9.000-10.000 hektar lahannya yang tidak produktif menjadi lahan kebun buah tropis, seperti manggis, pepaya, pisang, dan durian.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto di Jakarta, Selasa (3/2), mengatakan, upaya menumbuhkan industri pengolahan buah di Indonesia terkendala jaminan kuantitas pasokan buah. Hal ini tidak lepas dari sedikitnya areal penanaman buah skala luas di Indonesia.
”Pola penanaman buah di Indonesia tidak ada yang dalam bentuk estate atau hamparan luas, umumnya dibudidayakan petani dalam skala kecil dan tersebar. Ini menjadikan industri kesulitan mendapatkan jaminan pasokan dari sisi jumlah,” ujar Panggah.
Akibat kondisi tersebut, Panggah mengatakan, ada investor pengolahan buah dari negara sisi utara Eropa yang terpaksa bekerja sama terlebih dahulu dengan salah satu BUMN untuk mengusahakan penanaman mangga di Sukabumi, Jawa Barat. Kebutuhan pasokan buah sisanya kemudian diambil dari petani.
Di tempat terpisah, Ketua Komite Tetap Pengembangan Pasar Pertanian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Karen Tambayong mengatakan, pemerintah dan swasta harus duduk bersama.
”Sekarang momentum yang tepat bagi pemerintah untuk bersinergi, bukan zamannya lagi ego sektoral,” katanya. Kalau pemerintah mau duduk bersama untuk pengembangan industri buah skala luas, lanjut Karen, masalah perbuahan Indonesia akan selesai.
”Yang jelas, investasi untuk buah harus berupa kawasan. Pemerintah siapkan lahan dan infrastruktur memadai dan peraturannya, investor akan dengan sendirinya masuk. Buat iklim investasi yang menarik dan sehat,” ujarnya.
Terkait dengan pengembangan buah, petani harus diajari lebih dulu bertani dengan manajemen modern, dibantu benih dan pola tanam yang baik, serta perluasan jaringan. Tanpa pemberdayaan petani, penyediaan embung dan infrastruktur lain tidak akan banyak membantu pengembangan buah.
”Petani di negeri ini sangat beruntung karena memperoleh anugerah alam yang subur dan matahari berlimpah. Durian montong di Thailand baru berbuah setelah ditanam 4-5 tahun, sedangkan durian yang sama jenisnya di sini bisa berbuah 3 tahun setelah tanam,” tutur Ketua Yayasan Obor Tani yang juga pegiat hortikultura, Budi Dharmawan, di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Hingga saat ini, Yayasan Obor Tani sudah mengembangkan lebih kurang enam proyek pertanian tanaman buah bagi petani, yang tersebar di Kabupaten Rembang, Gunung Kidul, Semarang, dan Kabupaten Boyolali.
Tahap pertama di Karanganyar, Kabupaten Boyolali, proyek sentra pemberdayaan tani telah membagikan 2.800 bibit durian montong kepada 100 petani. Durian itu dikembangkan di lahan seluas 20 hektar.
Merek
Di Kabupaten Probolinggo, pemberian label atau merek terhadap buah lokal dinilai akan meningkatkan daya saing buah lokal, baik di dalam maupun di luar negeri. Buah lokal yang sudah memiliki merek kuat antara lain mangga Probolinggo dan apel Batu. Konsumen dalam dan luar negeri sudah mengenal bahwa kedua buah tersebut adalah buah unggul asal Indonesia.
”Saya memang selalu memakai label mangga Probolinggo untuk setiap produk yang saya jual. Untuk kepentingan ekspor, mereka akan lebih mudah menerimanya jika ada label mangga Probolinggo,” kata Suli Artawi (60), eksportir mangga.
Di Lampung Timur, produsen buah PT Nusantara Tropical Farm menguasai 85-95 persen dari total produksi pisang cavendish, nanas, dan jambu merah yang dipasarkan untuk pasar Indonesia dengan merek Sunpride.
Managing Director PT Sewu Segar Nusantara Martin Minar Wijaya menuturkan, Sunpride adalah merek buah tropis untuk pasar modern, misalnya swalayan dan toko ritel. Adapun Sunfresh ialah merek buah lokal yang diperuntukkan bagi pasar tradisional.
”Kami sengaja membedakan Sunpride dan Sunfresh untuk segmentasi. Buah-buah dengan kelas A masuk ke kelompok Sunpride, sedangkan kelas B masuk ke kelompok Sunfresh. Adapun buah dengan kelas C kami jual dalam bentuk buah potong kemasan dan jus,” papar Martin Minar Wijaya. (WHO/DIA/ETA/GER/CHE/MAS/CAS)