Isi Nota Kesepahaman RI - Malaysia yang Memicu Salah Paham Soal Proton
Kesalahpahaman itu langsung diluruskan oleh Menteri Perdagangan Rachmat Gobel. Artinya bukan Indonesia mau jadikan Proton Mobnas.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM -Ada hal menarik dari kunjungan Presiden Joko Widodo ke Malaysia, yakni Proton, perusahaan pembuat mobil asal Malaysia, akan berinvestasi di Indonesia.
Dalam kunjungannya ke kantor pusat Proton, Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak menyaksikan penandatanganan memorandum kesepahaman (MOU) antara Proton Holding Bhd dan PT Adiperkasa Citra Lestari yang dipimpin AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara.
Penandatanganan MOU yang disaksikan Presiden Jokowi itu sempat memunculkan salah paham bahwa Indonesia berniat membuat mobil nasional dengan Proton.
Namun, kesalahpahaman itu langsung diluruskan oleh Menteri Perdagangan Rachmat Gobel. Ia menegaskan, penanaman investasi Proton di Indonesia adalah hal yang biasa, sama seperti perusahaan pembuat mobil lainnya yang menanamkan investasi di Indonesia.
Kesalahpahaman itu muncul karena di dalam MOU itu disebutkan bahwa Proton dan Adiperkasa akan membuat mobil resmi ASEAN. Tidak ada yang salah dengan keinginan membuat mobil resmi ASEAN, tetapi perlu disadari dari awal bahwa mencapai itu tidaklah mudah.
Dalam kaitan itulah, dari awal kita harus memastikan bahwa Proton dan Adiperkasa tidak mendapatkan keistimewaan, atau bahkan mendapatkan subsidi, dari Pemerintah Indonesia untuk mencapai apa yang disebut sebagai mobil resmi ASEAN.
Hal itu sengaja dikemukakan karena juga tidak mudah bagi perusahaan otomotif baru bersaing di Indonesia. Perusahaan pembuat mobil asal Jepang dan Korea Selatan yang jauh lebih dulu menanamkan investasi di Indonesia tentu bukan lawan yang mudah disaingi.
Proton hadir di pasar mobil Indonesia sejak 2007, tetapi penjualannya tidak menggembirakan. Dalam tahun 2014, tercatat penjualan Proton di bawah 550 unit.
Penandatanganan MOU Proton dan Adiperkasa hanyalah salah satu dari tiga topik penting yang dibicarakan Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Malaysia. Dua topik lainnya adalah keinginan mempercepat penyelesaian perbatasan dan melanjutkan program pemulangan tenaga kerja Indonesia yang bermasalah.
Yang paling sulit dilakukan adalah penyelesaian masalah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Oleh karena masalah perbatasan adalah masalah kedaulatan sehingga tidak mudah mencapai kompromi.
Kita belum lupa bagaimana Presiden Soeharto dan PM Mahathir Mohamad terpaksa menyerahkan penyelesaian masalah Sipadan dan Ligitan ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, 7 Oktober 1996, setelah persoalan itu muncul tahun 1967. Walaupun demikian, jika masalah perbatasan bisa dibicarakan secara terbuka, selalu ada jalan untuk mencari penyelesaian.