Tower Bersama di Antara Utang dan Bisnis Menara
PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) menerbitkan obligasi global US$ 350 juta melalui anak usahanya TBG Global Pte Ltd
Editor: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM. JAKARTA. PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) menerbitkan obligasi global US$ 350 juta melalui anak usahanya TBG Global Pte Ltd. Dana tersebut untuk membiayai kembali alias refinancing utang. Manajemen TBIG lebih memilih menerbitkan obligasi dollar AS lantaran lebih mudah diserap pasar.
Kalau dirupiahkan, surat utang tersebut bernilai Rp 4,3 triliun. "Dengan jumlah sebanyak itu, di Indonesia agak susah penyerapannya," ujar Helmi Yusman Santoso, Direktur Keuangan TBIG beberapa waktu lalu.
Obligasi TBIG tersebut memberi bunga 5,25% dan jatuh tempo 2022. Utang TBIG adalah jenis revolving senilai US$ 300 juta. Nah, sisa dana obligasi untuk ekspansi.
Analis MNC Securities Victoria Venny N. Setyaningrum memandang, langkah tersebut wajar dilakukan sebab bisnis tower termasuk bisnis yang memerlukan modal besar untuk belanja modal. "Tentunya dengan menerbitkan global bond ini berefek positif lantaran sebagian besar utang TBIG dalam mata uang dollar AS," ungkap dia.
Victoria bilang, saat ini net senior debt terhadap EBITDA per kuartal III-2014 TBIG di 3,24 kali. Adapun, rasio pinjaman bersih terhadap EBITDA atau net debt to EBITDA ratio di periode yang sama, 4,63 kali. Ia memprediksikan, TBIG akan menjaga rasio pinjaman bersih di 5-7 kali. "TBIG masih mempunyai ruang pendanaan lebih lanjut," kata dia.
Harapannya, TBIG bisa menambah jumlah tenant alias penyewa serta menara. TBIG menargetkan bisa menambah 2.000-3.000 tenant dan 1.500-2.000 menara. Tapi, TBIG mengaku belum akan ada akuisisi baru di tahun ini.
Untuk ekspansi organik, TBIG menganggarkan dana Rp 2 triliun. Dana tersebut berasal dari kas internal dan pinjaman bank. Akhir September 2014, TBIG memiliki 10.623 menara telekomunikasi, 967 shelter-only, dan 96 jaringan distributed antenna system (DAS).
Menurut analis Mandiri Sekuritas Ariyanto Kurniawan, dalam risetnya pada 2 Desember 2014, TBIG masih bisa mengakuisisi 5.000 menara sebelum menembus batasan net debt to EBITDA 5 kali. Hitungannya, rasio net debt to EBITDA TBIG sebesar 4 kali. Prospek TBIG juga kian cerah setelah menandatangani kesepakatan dengan Mitratel, anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM). "Kemitraan dengan TLKM akan meningkatkan EBITDA 26% dari estimasi awal," ujar dia.
Analis KDB Daewoo Securities Mimi Halimin menambahkan, kerjasama tersebut membuat TBIG menjadi perusahaan menara dengan kapasitas terbesar dibandingkan para pesaing. "Saat ini, TBIG memiliki margin EBITDA yang besar dan tenancy ratio yang lebih bagus dari yang lainnya," ujar Mimi.
Ariyanto memperkirakan, tahun ini, pendapatan TBIG bisa mencapai Rp 5,3 triliun, naik dari target pendapatan tahun 2014, Rp 3,3 triliun. Sedangkan, laba bersih TBIG akan naik menjadi sekitar Rp 1,7 triliun, dari Rp 1,51 triliun di tahun lalu.
Mimi merekomendasikan hold dan masih merevisi target harga, menunggu laporan keuangan 2014. Ariyanto dan Victoria merekomendasikan buy. Masing-masing dengan target harga Rp 10.800 dan Rp 10.280 per saham. Rabu (11/2/2015), harga saham TBIG turun 2,71% di Rp 8.975 per saham. (KONTAN/Sinar Putri S.Utami )