KNTI Minta Tujuh Komponen Ini Dimasukan Dalam RUU Perlindungan Nelayan
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai fluktuasi Nilai Tukar Nelayan (NTN) yang masih tinggi.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai fluktuasi Nilai Tukar Nelayan (NTN) yang masih tinggi.
Untuk itu, penyusunan RUU Perlindungan Nelayan diharapkan dapat fokus meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya skala kecil.
"Dua regulasi pemberantasan illegal fishing yaitu moratorium izin kapal eks asing dan larangan transshipment belum menunjukkan benang merahnya terhadap kesejahteraan nelayan. Meski nilai NTN di Februari 2015 sebesar 106.72, meningkat dibanding 3 bulan pertama Pemerintahan Jokowi, namun angka ini terbilang rentan dibanding tren NTN 5 tahun terakhir," kata Wakil Sekjen KNTI, Niko Amrullah dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Minggu (22/3/2015).
Jika dilihat di setiap provinsi, kata Niko, maka Maluku mempunyai NTN tertinggi dibandingkan yang lainnya, sedangkan Bali yang paling rendah. Dari 34 provinsi di Indonesia, Bali adalah provinsi yang mempunyai angka NTN kritis di bawah standar statistik.
Menurutnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus segera mengesahkan RUU Perlindungan Nelayan, dengan fokus perlindungan dan pemulihan terhadap hak-hak nelayan tradisional. Sebanyak 92 persen dari total pelaku perikanan di Indonesia tergolong skala kecil dan 25 persen total angka kemiskinan berasal dari kampung pesisir dan nelayan.
"Sekurang-kurangnya ada tujuh komponen utama yang harus masuk dalam RUU Perlindungan Nelayan," ucap Niko.
Adapun tujuh komponen utama tersebut, seperti :
1. Reforma agraria di perairan. Bahwa negara harus mengakui peran nelayan skala kecil dan masyarakat adat untuk memulihkan, melestarikan, melindungi dan bersama sama mengelola lingkungan perairan lokal dan ekosistem pesisir.
2. Terkait prinsip pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Negara harus memfasilitasi, melatih dan mendukung masyarakat nelayan tradisional untuk berpartisipasi dan bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya pesisir dan laut.
3. Meliputi pembangunan sosial, ketenagakerjaan dan pekerjaan yang layak. Pada aspek ini, negara harus memperhatikan tentang kesehatan, pendidikan, pemberantasan buta huruf, inklusi digital, perlindungan jaminan sosial, akses ke layanan perbankan dan skema asuransi. Selain itu, menghapuskan kerja paksa, mencegah perbudakan perempuan, pria dan anak-anak serta perbaikan aspek keselamatan melaut yang mencakup kesehatan dan keselamatan kerja.
4. Terkait mata rantai perdagangan. Negara harus menyediakan akses ke pasar-pasar lokal, regional, nasional, dan internasional serta mendorong perdagangan yang adil dan non-diskriminatif bagi produk perikanan skala kecil.
5. Risiko bencana dan perubahan iklim. Negara harus membantu dan mendukung masyarakat nelayan skala kecil yang terkena dampak oleh perubahan iklim atau bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia.
6. Pengembangan kapasitas. Negara dan pihak-pihak lainnya harus meningkatkan kemampuan masyarakat nelayan skala kecil untuk memungkinkan mereka berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
7. Kesetaraan gender. Kebijakan yang dibuat haruslah tidak mendiskriminasikan perempuan nelayan. Merekalah yang menggarap pengolahan hasil perikanan, yang lebih mempunyai nilai tambah ekonomi.