Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ekonomi 2015 dan Krisis 1997

Gejolak eksternal pertama berkaitan dengan berakhirnya boom komoditas primer mulai akhir tahun 2011.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Ekonomi 2015 dan Krisis 1997
ist
Anwar Nasution, Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi UI. 

Oleh: Anwar Nasution

TRIBUNNEWS.COM - Beberapa indikator, seperti nilai tukar rupiah yang terus melemah, meningkatnya suku bunga bank, menurunnya ekspor dan tingkat harga ekspor kita di pasar dunia, juga kegagalan panen di sentra produksi padi, sebenarnya sudah memberikan gambaran bahwa ekonomi Indonesia tengah menghadapi kesulitan.

Namun, seperti pemerintahan Soeharto pada 1997, pemerintahan Jokowi juga mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Padahal, ekonomi sudah menunjukkan adanya empat bentuk gejolak eksternal yang mengancam. Namun, tidak ada kebijakan ataupun upaya pemerintah untuk mengatasinya. Pemerintah justru menghabiskan energi dan waktunya untuk cekcok sendiri.

Gejolak eksternal pertama berkaitan dengan berakhirnya boom komoditas primer mulai akhir tahun 2011. Sejak itu, baik permintaan maupun tingkat harga internasional hasil tambang, pertanian, dan perikanan terus merosot hingga saat ini.

Gejolak eksternal kedua berkaitan dengan kemungkinan peningkatan tingkat suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, the Federal Reserve System. Berita akan adanya kenaikan tingkat suku bunga menyedot aliran modal, dari negara-negara membangun, kembali ke AS. Pada gilirannya, aliran balik dana ini telah meningkatkan suku bunga pinjaman pemerintah, dunia usaha, dan mengempaskan harga SBI, SUN, dan efek-efek yang diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta.

Gejolak eksternal ketiga adalah musim kering berkepanjangan yang menyebabkan gagal panen di sentra produksi beras.

Gejolak eksternal keempat adalah devaluasi mini renminbi (1,9 persen), mata uang Republik Rakyat Tiongkok. Koreksi kecil itu dipersepsikan masyarakat sebagai awal kembalinya perang mata uang. Padahal, bank sentral RRT berjanji menggunakan sistem devisa mengambang dan menyerahkan nilai tukar kepada pasar.

Berita Rekomendasi

Alasan pertama pemerintah mengapa fundamental ekonomi kuat adalah karena indikator ekonomi makro masih baik hingga tahun 2014. Selalu disebut bahwa ekonomi Indonesia masih tumbuh 5 persen pada 2014 dengan tingkat laju inflasi 6,4 persen. Pada tahun itu, defisit APBN hanya 2,2 persen, di bawah maksimum 3 persen, sedangkan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) di bawah 30, jauh dari batas maksimum 60 persen. Defisit neraca berjalan hanya 3 persen dari PDB, jauh dari batas mencemaskan 8 persen.

Alasan kedua adalah perbankan sangat sehat dengan CAR tinggi dan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) rendah. Tidak dijelaskan CAR dan NPL itu diukur pada berapa tingkat harga komoditas primer, suku bunga, nilai tukar rupiah, ataupun pertumbuhan ekonomi.

Katanya OJK sudah melakukan stress test, tetapi tak pernah diumumkan asumsi ataupun metoda perhitungannya. Di tengah gejolak eksternal dan eksesnya, sulit membayangkan bagaimana nasabah kredit bank di sektor pertambangan, pertanian dan real estat, ataupun manufaktur bisa melunasi kredit tepat waktu.

Sebelum krisis tahun 1997, Bank Indonesia juga selalu mengatakan industri perbankan sehat, cukup modal, dan rasio kredit macet sangat kecil karena sebagian besar kredit bank adalah kredit program yang diasuransikan Askrindo. Sumber dana pun disediakan BI lewat kredit likuiditas. Namun, semua hanya ilusi karena pemeriksaan bank hanya memantau apakah kredit sudah disalurkan sesuai sasaran tanpa memperhitungkan delapan jenis risiko yang dihadapi. Pemeriksaan pembukuan bank pun banyak bohongnya sehingga harus diperiksa ulang kantor akuntan internasional pasca krisis.

Selain dari krisis perbankan, krisis ekonomi 1997 juga terjadi karena besarnya pinjaman luar negeri sektor korporat. Karena tak ada kewajiban melapor ke BI, tidak diketahui jumlah utang luar negeri swasta. Baru ketahuan ketika utang luar negeri harus diambil alih pemerintah.

Waktu itu, dunia usaha Indonesia merupakan sekelompok kecil kroni Orde Baru yang menerima limpahan privatisasi, berupa transfer monopoli dari sektor negara. Mereka menjadi pemilik proyek besar, seperti tol, pembangkit listrik, telepon, dan air minum. Karena tidak punya modal, para kroni itu meminjam kredit jangka pendek dalam mata uang asing dari bank di luar negeri.

Terjadilah dua bentuk kesalahan (the original sins). Kesalahan pertama adalah kredit jangka pendek untuk membelanjai proyek jangka panjang. Terjadilah kesenjangan jangka waktu (maturity mismatch). Kesalahan kedua, kredit dalam valuta asing untuk membiayai proyek dengan penerimaan rupiah. Terjadilah kesenjangan mata uang (currency mismatch).

Halaman
12
Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas