Pemerintah Harus Tertibkan 'Trader' Nakal agar Harga Gas Industri Bisa Turun
Harga gas masih menjadi momok menakutkan untuk sektor industri nasional.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga gas masih menjadi momok menakutkan untuk sektor industri nasional.
Pasalnya, harga gas industri di Indonesia yang menyentuh angka 8 dolar AS per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU) diklaim menjadi yang termahal diantara negara-negara tetangga.
Dampaknya, industri nasional bakal semakin sulit bersaing dengan negara lain.
Seperti diketahui, harga gas industri di Singapura sekitar 4-5 dolar AS per MMBTU, Malaysia 4,47 dolar AS, Filipina 5,43 dolar AS, dan Vietnam sekitar 7,5 dolar AS.
Mamit Setiawan, Pengamat energi dari Energy Watch Indonesia, mengatakan ada beberapa hal yang menyebabkan harga gas industri kita mahal.
Pertama, karena memang pembelian harga gas dari hulu atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam hal ini perusahaan minyak memang sudah tinggi, bahkan untuk saat ini sudah menyentuh angka 6-8 dolar AS per MMBTU.
Kedua, karena negara kita adalah negara dengan area yang luas dan kepulauan dimana dalam pembangunan infrastruktur membutuhkan investasi yang cukup mahal.
Jadi investor dalam hal ini badan usaha niaga pasti akan memasukkan investasi dalam salah satu komponen harga mereka.
"Walaupun saat ini harga gas bumi sebenarnya otonom, tetapi tetap dikendalikan oleh pemerintah," kata Mamit, Jumat (2/10/2015).
Ketiga, adanya Permen 19/2009 tentang kegiatan gas bumi melalui pipa. Permen tersebut diduga menghasilkan badan usaha niaga atau trader yang hanya bermodalkan kertas tanpa ada kewajiban ataupun keinginan untuk mengembangkan infrastruktur.
Menurut Mamit, badan usaha niaga cenderung memanfaatkan jalur pipa yang sudah existing dengan hanya membayar toll fee kepada pemilik pipa. Ini yang menyebabkan infrastruktur pipanisasi dari 2010-2014 cenderung stagnan dan tidak ada investasi lagi.
"Para pemilik pipa existing juga tidak mau membangun, karena mereka merasa rugi karena hanya mendapatkan toll fee dan service fee."
Mamit mengatakan, dengan harga gas yang cukup mahal di hulu maka otomatis harga yang di hilir semakin mahal. "Betul, memang harga gas dari hulu sudah mahal.
Berdasarkan data 2005-2014 harga gas terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun 1.58 dolar AS per MMBTU-7 dolar AS per MMBTU.
Dengan harga hulu yang sudah cukup tinggi, maka secara otomatis harga untuk konsumen atau industri pasti akan jauh lebih tinggi lagi.
"Mahalnya harga di sektor hulu, karena memang investasi di hulu sangat besar dimulai dari kegiatan eksplorasi sampai produksi, walaupun biaya tersebut akan diganti oleh negara dengan cost recovery," katanya.
Mahalnya harga gas industri juga diperparah dengan banyaknya tangan-tangan jahil yang memainkan harga gas tersebut.
Mamit menuturkan, pihak-pihak yang bermain di sektor hulu hanya KKKS. Mereka juga dalam menentukan harga masih dikawal oleh SKK Migas. Kecuali memang ada pihak-pihak tertentu di luar sistem bisa melakukan influence ke SKK Migas maupun KKKS.
"Yang banyak terjadi permainan justru di sektor hilir, dimana banyak trader yang hanya bermodalkan kertas bisa mendapatkan alokasi gas untuk industri karena ada kedekatan dengan pihak-pihak tertentu," ujarnya.
Harga Ideal
Dengan melihat segala macam problematika tersebut, Mamit menyarankan harga gas industri yang dijual di Indonesia ada di kisaran 7-8 dolar AS per MMBTU. Hal tersebut untuk menjaga agar industri nasional bisa bersaing dengan negara lain.
Sementara itu, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah pertama untuk sektor hulu, pemerintah harus bisa menjadi fasilitator antara pihak KKKS dengan Badan Usaha Niaga dalam membicarakan kembali harga jual.
Jika memang harus dikurangi, sebagaimana dengan rencana stimulus ekonomi bidang energi. Pemerintah harus mengurangi penerimaan negara dari penjualan gas, jatah pemerintah akan dikurangi dan digunakan untuk sektor hilir sehingga harganya bisa turun.
Selain itu, di sektor hilir menghapus Permen Nomor 19/2009.
Permen tersebut menghasilkan trader-trader bermodal kertas serta mengakibatkan stagnannya pembangunan infrastruktur di sektor gas. Permen tersebut juga memperpanjang rantai distribusi gas dari hulu hingga ke pengguna akhir.
"Selain itu, pemerintah juga harus menghapus Permen Nomor 3/2010, permen tersebut mengakibatkan sektor industri merasa menjadi pihak yang dianaktirikan terkait alokasi gas. Sehingga pasokan untuk mereka menjadi lebih sedikit."
Sebelumnya, berdasarkan perhitungan para pelaku industri dan Kemenperin, idealnya harga gas untuk industri di dalam negeri di bawah 5 dolar AS per MMBTU. Dengan harga sebesar itu, biaya produksi bisa lebih ekonomis, investor pun akan tertarik untuk membangun pabrik di Indonesia.
Harjanto, Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin usai rapat kerja dengan Komisi VI di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (1/10/2015), menambahkan saat ini Kemenperin bersama-sama dengan kementerian-kementerian lain tengah menyiapkan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) untuk penurunan harga gas domestik. Diharapkan, industri di dalam negeri bisa terbantu oleh harga gas yang lebih murah.
"Nanti kita lihat bagaimana keputusannya di rapat interdepth, sekarang sedang disusun rancangan Perpres-nya di Kemenko Perekonomian untuk penurunan harga gas," tuturnya.