Politisi Golkar Tolak Ratifikasi FCTC
Mukhamad Misbakhun mendukung penuh pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang menyebut regulasi FCTC bagian proxy war
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi Golkar sekaligus anggota Badan Legislasi DPR, Mukhamad Misbakhun mendukung penuh pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang menyebut regulasi Framework Convention on Tobacco Control' (FCTC) bagian proxy war dan layak disebut sebagai ancaman negara.
Seperti diketahui, Gatot kala menjadi pembicara di acara Dialog Nasional Munas Kadin ke VIII di hotel Ritz Charlton, Jakarta, Rabu (21/10), menyebut bahwa FCTC merupakan produk regulasi asing yang bakal merugikan Indonesia lantaran dalam FCTC itu jelas diminta hanya rokok putih.
Padahal di dalam negeri ada 6,1 juta yang bergantung terhadap industri tembakau. Belum lagi ada aturan larangan rokok aromatik.
Sikap Gatot didukung penuh Misbakhun. "Sebelum petani tembakau dan cengkeh, serta industri nasional kretek dilindungi oleh peraturan perundang-undangan nasional, saya akan menolak setiap agenda asing dan global untuk melakukan okupasi terhadap kebijakan pertembakauan di Indonesia," tegas Misbakhun, Kamis (22/10/2015).
Dia menegaskan bahwa FCTC jelas merupakan penjajahan model baru dengan menggunakan isu kontemporer yang dimodifikasi dengan memasukkan isu kesehatan. Sekali lagi, dirinya bersikeras menolak adanya ratifikasi FCTC.
"Sejak awal DPR menolak mengadopsi FCTC menjadi Undang-undang yang berlaku di Indonesia," terangnya.
Ia menuturkan, petani tembakau, petani cengkeh, dan industri nasional kretek adalah tulang punggung ekonomi bangsa yang penting untuk dilindungi dari ancaman asing.
Para pekerja di sektor tembakau, ujar dia, sangat khawatir bahwa FTCT akan mengancam kelangsungan hidup mereka. Berdasarkan data Kementan, ada 6,1 juta tenaga kerja langsung dan tidak langsung di industri hulu hilir tembakau.
"Fakta bahwa kontribusi cukai hasil tembakau tiap tahun sekitar Rp139-an triliunan sebagai sumber penerimaan negara," ujar anggota komisi XI DPR ini.
Misbakhun mengatakan, rencana ratifikasi FCTC dinilai tidak statis. Belajar dari pengalaman ratifikasi food. Awalnya hanya mengatur soal beras. Namun dalam perjalanannya, diatur soal lain seperti susu.
"Sehingga kita harus cermati dampak peraturan internasional yang lain terhadap aspek ekonomi, budaya, dan hukum, katanya.