Soal Ratifikasi FCTC, Pemerintah Diminta Jangan Mau Disetir Asing
Agenda terselubung kepentingan bisnis global yang sengaja disusupi lewat regulasi harus ditolak.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia harus mewaspadai setiap upaya pihak asing yang ingin menguasai Indonesia lewat berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan nasional (rakyat).
Demikian ditegaska politikus Partai Golkar, Poempida Hidayatulloh di Jakarta, Minggu (25/10/2015) terkait desakan The World Health Organization (WHO) agar Indonesia segera meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Hal ini penting guna menjaga marwah sebagai bangsa berdaulat. Karena itu, agenda terselubung kepentingan bisnis global yang sengaja disusupi lewat regulasi harus ditolak.
“Dari dulu juga mereka mendesak itu. Kalau Indonesia berdaulat ya harus berpikir untuk kepentingan Indonesia dulu lah. Jangan mau disetir dan kita tidak boleh tunduk pada kepentingan dan agenda bisnis global,” tegas mantan anggota DPR itu.
Menurutnya, meratifikasi FCTC sama saja membunuh rakyat Indonesia. Pasalnya, jutaan orang mengantungkan hidupnya pada industrial rokok.
Apalagi, pemerintah sama sekali belum bisa menyiapkan program alternatif untuk memindahkan basis industri rokok ini dalam bentuk industri lain.
Oleh karena itu, seyognya tetap kembali kepada roadmap industri tembakau yang secara bertahap terjadi switching dari basis industri rokok ke industry lainnya.
"Segenap aturan mengenai tembakau dan produk-produk olahannya, disusun berdasarkan masukan kepentingan asing, yang mengandalkan aturan-aturan dari FCTC. Ini tidak bisa mentah-mentah diterapkan di Indonesia," jelasnya.
Dia menegaskan, aturan-aturan yang diterapkan terhadap tembakau dan industri hasil tembakau pada hakekatnya dibuat berdasarkan alasan-alasan palsu yang menekankan alasan demi kesehatan masyarakat sebagai cara dan strategi ampuh membasmi kretek.
"Argumen palsu sebenarnya untuk menutupi alasan sebenarnya, yaitu perang dagang. Pihak asing yang penuh watak keserakahan hendak mencaplok bisnis kretek yang luar biasa besar ini," ujarnya.
Dia menambahkan, pihak yang paling dirugikan jika FCTC diratifikasi adalah usaha tembakau di sektor kecil dan menengah.
Selain itu, petani tembakau akan kehilangan penghidupannya, sehingga tidak dapat lagi mempertahankan hidupnya.
Padahal, kata dia, didalam Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945 disebutkan, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
“Jika FCTC diratifikasi, maka Pemerintah justru membuat ketidakseimbangan ekonomi nasional yang bertentangan dengan agenda Nawacita,” tuturnya.
Sebelumnya, Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyebut FCTC merupakan salah satu ancaman karena menjadi bagian proxy war lantaran FCTC merupakan produk regulasi asing yang kemudian diadopsi sebagai regulasi yang berimpilikasi pada kondisi ekonomi dalam negeri.
“Dalam FCTC itu jelas diminta hanya rokok putih. Padahal di dalam negeri ada 6,1 juta yang bergantung terhadap industri tembakau. Belum lagi ada aturan larangan rokok aromatik. Jadi, proxy war di Indonesia semakin nyata di Indonesia," ujar Gatot.
"Saya sepakat dengan pendapat Panglima TNI. Tetapi, saya lebih cenderung melihat dampaknya pada basis Pekerja, Buruh, petani, Pedagang kecil dan orang-orang kelas bawah lainnya,” jelas Poempida.
Karena itu, dia meminta pemerintah agar tidak tunduk pada agenda-agenda asing lewat ratifikasi FCTC ini.
“Pemerintah harus tegas. Semua agenda asing yang disusupi melalui regulasi harus ditolak,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Indonesia termasuk satu negara yang belum meratifikasi FCTC. Di dunia terdapat 31 negara yang belum meratifikasi konvensi ini, termasuk Argentina, Cuba dan juga Amerika Serikat (AS).