Pengamat Kritik Jual Beli Gas Pertamina
Kebijakan Pertamina memberikan alokasi gas kepada trader gas modal kertas terus menuai kritik.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan Pertamina memberikan alokasi gas kepada trader gas modal kertas terus menuai kritik.
Pasalnya, sering kali karena kedekatan politis mendapatkan alokasi gas, namun dalam prosesnya mereka tidak bisa menjual ke konsumen, sehingga ujungnya tidak mampu membayar dari pemberi alokasi gas yakni PT Pertamina (Persero).
Dalam penjualan gas dari produsen gas ada yang namanya take or pay. Pembeli gas harus membayar gas atas alokasi yang sudah diberikan meskipun ia tidak bisa mengambil untuk disalurkan. Hal ini banyak dialami oleh trader gas modal kertas yang mendapatkan gas dari Pertamina.
Tentu saja, akibat tindakan Pertamina itu patut diduga ada kerugian negara. "Jika kemudian alokasi itu diberikan oleh Pertamina padahal mengetahui bahwa orang ini akan sulit menjual alokasi gasnya, dan sadar bahwa Pertamina akan rugi namun tetap saja diberikan dibiarkan. Maka menurut saya itu masuk kualifikasi atau berurusan dengan kerugian negara," kata Pakar Hukum Tata Negara Margarito, Rabu (4/11/2015).
Untuk itu, ia meminta agar setiap skema jual beli gas memang harus transparan. Jangan sampai terjadi masalah-masalah seperti gagal bayar karena proses transaksi jual beli gas. Masalah seperti itu bisa jadi karena alokasi-alokasi itu diberikan kepada yang tidak memiliki kemampuan seperti memiliki infrastruktur gas.
Ia menilai, seringnya terjadi gagal bayar dari kontrak alokasi gas yang diberikan karena alokasi itu diberikan pada mereka yang tidak kemampuan kapasitas infrastruktur.
"Kenapa alokasi gas itu selalu diberikan pada trader yang notabene tidak punya infrastruktur ini yang mesti dibenahi betul," tegasnya.
Pertamina juga dituntut untuk dapat menjaga akuntabilitasnya dalam berbisnis gas bumi. Jangan ada alokasi gas dengan bermodal kedekatan terhadap pemerintah harus dihilangkan.
"Skala pemberian harus diberikan ke mereka yang sudah jelas, skala prioritas, dan sudah punya infrastruktur gas, mereka harus dapat. Di sini tentu saja soal proporsi pembagian. Tidak bisa alokasi
Sebagai entitas bisnis, manajemen Pertamina disebutnya memang bisa saja memiliki perhitungan untung rugi dalam berbisnis minyak dan gas bumi (migas). Namun sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang harus memberikan keuntungan bagi seluruh rakyat, Margarito menilai setiap pemberian alokasi gas tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara rente.
"Harus profesional tidak bisa lagi dilakukan dengan cara curang, ada rente, itu harus dihentikan," tandas Margarito.
Menurutnya, penegak hukum sangat mungkin masuk mengusut para pejabat di Pertamina maupun Pertamina gas (Pertagas) dan trader gas tentang permainan dalam alokasi gas sehingga merugikan masyarakat dan industri.
Namun sebelum itu dilakukan, ia mendorong dilakukannya audit kinerja terlebih dahulu terhadap Pertamina. Pasalnya, ia khawatir, jika penegak hukum langsung masuk tidak memiliki kapasitas kemampuan dalam membongkar permainan antara pejabat Pertamina maupun Pertagas dengan para trader gas.
"Sebaiknya dilakukan audit kinerja terlebih dahulu terhadap Pertamina oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar akuntabel. Dengan hasil audit kinerja BPK itulah jadikan dasar untuk aparat hukum masuk," tegasnya.(Yudho Winarto)