Pengamat: Industri Penerbangan di Ujung Tanduk
Pemerintah diminta lebih serius untuk menangani industri penerbangan yang kondisinya bakal semakin berat pada tahun depan.
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sylke Febrina Laucereno
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta lebih serius untuk menangani industri penerbangan yang kondisinya bakal semakin berat pada tahun depan.
Andre Rahadian, Ketua Masyarakat Hukum Udara Indonesia, mengatakan tahun ini bukanlah tahun yang baik bagi industri maskapai di Indonesia. Pasalnya perlambatan perekonomian dan penurunan daya beli menjadi momok utama bagi seluruh ranah industri di Indonesia.
Andre menuturkan, sejumlah tantangan yang harus dihadapi maskapai nasional yaitu mulai dari lambatnya pengembangan infrastruktur transportasi udara nasional yang berdampak pada inefisiensi operasional penerbangan hingga pertumbuhan makro ekonomi Indonesia yang tidak sesuai ekspektasi
Selain itu, pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar AS juga berpengaruh terhadap meningkatnya beban maskapai.
"Mengingat hampir 70 persen pengeluaran perusahaan mulai dari biaya operasi, perawatan, leasing, hingga asuransi pesawat dibayarkan dalam dolar, sementara pendapatan didapat dalam mata uang rupiah," ungkapnya, Sabtu (7/11/2015).
Masalah ini dibarengi oleh kondisi dampak asap kebakaran lahan dan erupsi gunung berapi di beberapa wilayah Indonesia, yang berpengaruh pada hilangnya potensi pendapatan maskapai akibat ribuan pembatalan operasional penerbangan.
Maskapai juga masih menghadapi beberapa isu krusial, terkait sejumlah kebijakan dari regulator yang membebani maskapai, yakni penerapan harga avtur di Indonesia yang lebih tinggi 12 persen dibandingkan beberapa negara ASEAN.
“Padahal komponen biaya avtur merupakan komponen biaya tertinggi, yaitu sekitar 40-50 persen dari total biaya,” tegasnya.
Tantangan lain adalah kebijakan bea masuk dan PPN untuk impor spare parts pesawat. Perawatan dan perbaikan pesawat merupakan aktivitas utama maskapai dalam menjamin keselamatan penerbangan yang optimal, dan komponen biayanya mencapai 10 persen dari total biaya.
Andre menilai hal ini sangat membebani karena beberapa negara ASEAN memberlakukan pembebasan bea masuk atau penerapan tarif 0 persen.
“Akibatnya, maskapai nasional tidak berada di playing field yang sama dengan maskapai ASEAN lain,” kata Andre.
Tidak berhenti di situ, kebijakan PPN untuk operating lease pesawat yang total komponennya mencapai 15-20 persen dari total biaya, kenaikan tarif airport, PSC, dan AirNav, sementara tarif penerbangan domestik dibatasi oleh peraturan sangat membebani.
Akhirnya, Andre melihat kondisi tersebut tentu berdampak langsung pada inefisiensi biaya operasional perusahaan penerbangan nasional.
“Semakin membebani maskapai yang secara karakteristik industrinya memiliki profitabilitas yang rendah dan sensitif terhadap kenaikan elemen biaya atau restriksi terhadap pendapatan,” katanya.
Salah satu yang menjadi perhatian, kebijakan batasan usia pesawat yang digulirkan Kemenhub. Menurut Andre, hal ini mudah dipenuhi oleh maskapai besar. Namun, dia yakin maskapai kecil sangat kedodoran untuk pemenuhannya.
“Maskapai harus leasing pesawat itu paling satu sampai dua tahun,” tegasnya.
Andre mengungkapkan, dengan beban tersebut saat ini mulai ada sinyal dari para maskapai yang hampir tumbang. Hal tersebut terlihat dari kinerja keuangan yang sudah hampir tidak bisa terkontrol.
Oleh sebab itu, dia mengatakan solusinya adalah perpanjangan jangka waktu atau time frame yang linear dengan kondisi industri penerbangan.